Wednesday, October 20, 2010

Menjaga Kebersihan Jasmani bagian dari Sunnah Rasulullah Bag.I
Kamis, 21-Oktober-2010, Penulis: Buletin Islam Al-Ilmu

Saudara pembaca, dienul Islam adalah agama yang mengajarkan kepada pemeluknya segala bentuk kebersihan. Baik kebersihan yang bersifat rohani atau pun jasmani.

Adapun kebersihan rohani, agama Islam memerintahkan pemeluknya untuk menghilangkan dan membersihkan qalbunya dari segala bentuk noda dan kotoran yang dapat membuatnya berkarat seperti syirik, bid’ah, dan maksiat. Karena semua itu dapat mengganggu kestabilan iman dan ibadah seseorang.

Demikian pula, Islam mengajarkan dan memperhatikan kebersihan jasmani. Bahkan jika kita cermati, semua perkara yang terkait dengan kebersihan telah diajarkan dalam Islam. Karena selain berpengaruh kepada kebersihan dan kesehatan, ia juga sangat berperan dalam menentukan sempurna dan sahnya ibadah seorang hamba.

Diantara bukti bahwa Islam mengajarkan kebersihan jasmani dan sekaligus ini menjadi tema kita pada edisi kali ini adalah sabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam:

الْفِطْرَةُ خَمْسٌ: الاِخْتِتَانُ وَالاِسْتِحْدَادُ وَقَصُّ الشَّارِبِ وَتَقْلِيمُ الأَظْفَارِ وَنَتْفُ الإِبْطِ

“Fithrah itu ada lima: khitan, istihdad, memendekkan kumis, memotong kuku, dan mencabut bulu ketiak.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Lima perkara yang terkandung dalam hadits ini adalah perkara kebersihan yang berkaitan dengan jasmani, yaitu: khitan, istihdad, memendekkan kumis, memotong kuku, dan mencabut bulu ketiak. Insya Allah akan kami jelaskan satu persatu terkait dengan hukum lima perkara tersebut.

1. Al-Khitan

Sunnah fithrah pertama yang terkandung dalam hadits di atas adalah khitan.

Kata “khitan” dalam bahasa arab adalah mashdar (kata dasar) dari khatana. Maknanya secara bahasa adalah memotong (al-qath’u). Adapun yang dimaksud khitan dalam Islam adalah seperti yang disebutkan oleh Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullah, “Khitan (bagi laki-laki) adalah memotong semua kulit yang menutupi kepala dzakar (kemaluan laki-laki) sampai terlihat seluruhnya. Dan bagi wanita adalah membuang (memotong) sebagian kecil kulit yang terletak di bagian atas farji (kemaluan wanita).” (Nailul Authar, 1/133)

* Hukum Khitan

Para ulama’ sepakat bahwa khitan disyari’atkan dalam Islam bagi laki-laki dan wanita. Karena ia merupakan ciri khas yang membedakan antara kaum muslimin dengan selain mereka. Hanya saja terjadi silang pendapat diantara mereka tentang hukum khitan, apakah wajib atau tidak? Pendapat yang lebih kuat dan merupakan pendapat kebanyakan ulama’ adalah bahwa khitan wajib bagi laki-laki dan sunnah bagi wanita. Ibnu Qudamah rahimahullah

mengatakan, “Adapun khitan, ia wajib bagi laki-laki dan merupakan kemuliaan bagi wanita, tidak wajib atas mereka (yakni bagi wanita, pen). Ini adalah pendapat kebanyakan ulama’.” (Al-Mughni, 1/100)

* Waktu Khitan

Para ulama’ membagi waktu khitan menjadi dua, waktu wajib dan waktu mustahab. Waktu wajib ialah waktu yang ketika itu seseorang harus segera berkhitan, jika tidak maka ia berdosa. Waktunya adalah ketika masuk usia baligh. Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Dan waktunya adalah ketika masuk usia baligh, karena (usia itu) adalah waktu kewajiban melaksanakan ibadah atasnya.” (Tuhfatul Maudud, 1/180)

Atas dasar ini, tidak boleh bagi para orang tua membiarkan anaknya tidak berkhitan sampai melewati usia baligh. Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Maka tidak boleh bagi orang tua tidak mengkhitan anaknya sampai melewati usia baligh.” (Tuhfatul Maudud)

Adapun waktu mustahab adalah waktu dimana disukai bagi seseorang untuk berkhitan, jika tidak maka ia tidak berdosa. Waktunya adalah sejak lahir sampai masuk usia baligh.

Untuk waktu ini, menurut sebagian ulama’ lebih ditekankan pada hari ketujuh kelahiran, berdasarkan hadits Jabir bin Abdillah dan Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma, “bahwa Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam menyukai khitan pada hari ketujuh.” Tetapi hadits ini dha’if (lemah), sehingga tidak bisa dijadikan dalil. Maka tidak ada ketentuan waktu khusus untuk berkhitan. Namun para ulama’ menyebutkan bahwa semakin cepat seseorang berkhitan, maka itulah yang afdhal (yang lebih utama).

* Hukum Orang yang Tidak Mau Dikhitan

Al-Haitami rahimahullah berkata: “Yang benar jika diwajibkan bagi kita khitan, lalu ditinggalkan tanpa udzur, maka pelakunya fasik. Namun pahamilah, bahwasanya pembicaraan disini hanya ditujukan pada anak laki-laki tanpa menyertakan anak perempuan. Laki-laki difasikkan bila meninggalkan khitan tanpa udzur, dan lazim dari sebutan fasik tersebut bahwa perbuatan itu termasuk dosa besar.” (Az-Zawajir, 2/162)

* Yang Berhak Mengkhitan

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Pelaksanaan khitan itu seharusnya dilakukan oleh seorang dokter yang ahli (atau tenaga kesehatan lainnya, pen.) yang mengetahui bagaimana cara mengkhitan. Bila seseorang tidak mendapatkannya, maka ia bisa mengkhitan dirinya sendiri jika memang mampu melakukannya dengan baik. Nabi Ibrahim ‘alaihissalam mengkhitan dirinya sendiri. Orang yang mengkhitan boleh melihat aurat yang dikhitan walaupun usia yang dikhitan telah mencapai sepuluh tahun, kebolehan ini dikarenakan adanya kebutuhan.” (Asy-Syarhul Mumti`, 1/110)

2. Al-Istihdad

Al-Istihdad secara bahasa diambil dari kata al-hadidah yaitu alat cukur yang terbuat dari besi. Yang dimaksud di sini adalah alat cukur yang digunakan untuk membersihkan bulu kemaluan, sebagaimana diterangkan dalam riwayat Al-Bukhari no. 5551 dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu’anhuma, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:

(( مِنَ الْفِطْرَةِ حَلْقُ الْعَانَةِ ))

“Termasuk dari fithrah ialah mencukur habis bulu kemaluan.”

Batasan al-‘anah (bulu kemaluan) yang disunnahkan untuk dicukur adalah rambut yang tumbuh di atas dan sekitar dzakar pria serta rambut yang tumbuh disekitar farji wanita. (Al-Minhaj, 3/147)

Diperbolehkan pula mencukur rambut yang tumbuh di sekitar dubur. Tetapi jangan menganggapnya sunnah, karena tidak ada hadits yang shahih tentang hal itu. Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullah berkata, “Al-Istihdad artinya adalah mencukur dengan alat, yang dimaksud di sini adalah mencukur habis bulu kemaluan sebagaimana ditafsirkan dalam riwayat Muslim dari ‘Aisyah radhiyallahu’anha. Atas dasar ini, tidak boleh mengklaim bahwa mencukur rambut sekitar dubur adalah sunnah kecuali dengan adanya dalil. Dan kami belum menemukan dalil tentang hal ini, baik dari perbuatan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam ataupun para shahabatnya.” (Nailul Authar, 1/133 secara ringkas)

* Tata caranya

Cara istihdad yang paling afdhal dan paling sempurna adalah dengan dicukur sampai habis sebagaimana diterangkan oleh beberapa hadits. Dibolehkan pula menggunakan gunting, kapur, obat perontok rambut, atau dicabut. Karena tujuan utamanya adalah diperolehnya kebersihan (Al-Minhaj, 3/147)

* Waktunya

Batas maksimal mencukur bulu kemaluan adalah empat puluh hari. Anas bin Malik radhiyallahu’anhu berkata,

(( وَقَّتَ لَنَا رَسُولُ اللَّهِ فِي قَصِّ الشَّارِبِ وَتَقْلِيمِ الْأَظْفَارِ وَحَلْقِ الْعَانَةِ وَنَتْفِ الإِبْطِ أَنْ لاَ نَتْرُكَ أَكْثَرَ مِنْ أَرْبَعِينَ يَوْمًا ))

“Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam memberikan waktu kepada kami untuk memendekkan kumis, memotong kuku, mencukur bulu kemaluan, dan mencabut bulu ketiak, agar tidak membiarkannya lebih dari empat puluh hari.” (HR. Muslim no. 258 dan An-Nasa’i no. 14)

Al-Imam An-Nawawi rahimahullah menjelaskan, “Maknanya adalah, tidak membiarkan lebih dari empat puluh hari. Dan bukan berarti beliau Shalallahu ‘alaihi wa Sallam memberikan waktu untuk membiarkannya sampai empat puluh hari.” (Al-Minhaj, 3/149)

Sebagian ulama’ menyukai mencukurnya setiap hari jum’at. Sebagian lainnya menyukai hari kamis, agar memasuki hari jum’at dalam keadaan bersih. Sedangkan sebagian yang lain menyukai setiap lima belas hari sekali. Namun, tidak ada dalil yang menentukan masalah ini, maka semakin cepat seseorang membersihkannya itulah yang utama. (Syarhu Khishalil Fithrah li Abi Hasyim)

Faedah: Mencukur rambut kemaluan ini tidak boleh bahkan haram dilakukan oleh orang lain, kecuali orang yang dibolehkan menyentuh dan memandang kemaluannya seperti suami dan istri. (Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab, 1/342, Fathul Bari, 10/423)

3. Mencabut bulu ketiak

Sunnah fithrah berikutnya yang terkandung dalam hadits diatas adalah mencabut bulu ketiak. Yang dimaksud disini adalah mencabut bulu yang tumbuh di bawah kedua lengan.

* Tata caranya

Cara yang paling afdhal dan sempurna adalah dengan dicabut, karena demikianlah yang dituntunkan oleh Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam. Tetapi, bagi seseorang yang tidak kuat menahan rasa sakit diperbolehkan menggunakan gunting, kapur, atau obat perontok rambut lainnya, karena tujuan utamanya adalah tercapainya kebersihan. Hal semacam ini juga dinukilkan dari sebagian ulama’ salaf. Yunus bin Abdul A’la rahimahullah berkata,

(( دَخَلْتُ عَلَى الشَّافِعِيِّ وَعِنْدَهُ الْمُزَيِّنُ يَحْلِقُ إبْطَهُ فَقَالَ الشَّافِعِيُّ: عَلِمْت أَنَّ السُّنَّةَ النَّتْفُ وَلَكِنْ لاَ أَقْوَى عَلَى الْوَجَعِ ))

“Aku masuk menemui Asy-Syafi’i, dan didekatnya ada seseorang yang sedang mencukur bulu ketiaknya. Beliau mengatakan, ‘Aku tahu bahwa yang sunnah adalah mencabutnya. Tetapi aku tidak kuat menahan sakitnya’.” (Nailul Authar, 1/133)

Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullah berkata, “Yang afdhal adalah dicabut, karena yang demikian itu sesuai dengan hadits.”

Al-Imam An-Nawawi rahimahullah menambahkan, “Yang lebih utama padanya adalah dicabut jika ia kuat (menahan rasa sakit, pen.), boleh juga dicukur dan memakai obat perontok.”

Al-Imam Ishaq bin Rahawaih rahimahullah ditanya, “Mencabut bulu ketiak lebih kamu sukai ataukah menggunakan obat perontok?” Beliau menjawab, “Mencabutnya, bila memang seseorang mampu.” (Al-Mughni, 1/100)

Diutamakan mendahulukan ketiak yang kanan sebelum yang kiri saat mencabut atau mencukurnya. ‘Aisyah radhiyallahu’anha berkata:

(( كَانَ النَّبِىُّ يُعْجِبُهُ التَّيَمُّنُ فِى تَنَعُّلِهِ وَتَرَجُّلِهِ وَطُهُورِهِ وَفِى شَأْنِهِ كُلِّهِ ))

“Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam senang mendahulukan sisi yang kanan dalam memakai sandal, bersisir, bersuci, dan dalam semua urusannya (yang baik).” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Oleh karena itu, Al-Imam An-Nawawi rahimahullah mengatakan, “Dan disukai mendahulukan ketiaknya yang kanan.” (Al-Minhaj, 3/149)

Mencabut bulu ketiak boleh dilakukan oleh orang lain, sebagaimana yang dilakukan Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah di atas.

* Batas Waktunya

Batas waktu maksimal mencabut bulu ketiak adalah empat puluh hari, tidak boleh lebih, dan lebih utama dilakukan sebelum itu. Dalilnya adalah hadits Anas bin Malik radhiyallahu’anhu diatas, “Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam memberikan waktu kepada kami untuk memendekkan kumis, memotong kuku, mencukur bulu kemaluan, dan mencabut bulu ketiak, agar tidak membiarkannya lebih dari empat puluh hari.” (HR. Muslim no. 258 dan An-Nasa’i no. 14)

Insya Allah bersambung ke edisi berikutnya…. Semoga bermanfaat.
http://www.assalafy.org/mahad/?p=515#more-515