Tuesday, August 4, 2009

Menjelang Bulan Ramadhan

Kamis, 07-September-2006, Penulis: Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaaly, Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid

1. Menghitung hari bulan Sya’banUmmat Islam seyogyanya menghitung bulan Sya’ban sebagai persiapan memasuki Ramadhan. Karena satu bulan itu terkadang dua puluh sembilan hari dan terkadang tiga puluh hari, maka berpuasa (itu dimulai) ketika melihat hilal bulan Ramadhan. Jika terhalang awan, hendaknya menyempurnakan bulan Sya’ban menjadi tiga puluh hari. Karena Allah menciptakan langit-langit, bumi dan menjadikan bulan sabit tempat-tempat, agar manusia mengetahui jumlah tahun dan hisab. Satu bulan tidak akan lebih dari tiga puluh hari.Dari Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu, ia berkata : Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam bersabda (yang artinya) : “Puasalah kalian karena melihat hilal, dan berbukalah karena melihat hilal. Jika kalian terhalangi awan, sempurnakanlah bulan Sya’ban tiga puluh hari.” (31)Dari Abdullah bin Umar Radiyallahu 'anhu, bahwasanya Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam bersabda :“Janganlah kalian puasa hingga melihat hilal. Jika kalian terhalangi awan, hitunglah bulan Sya’ban.” (32)Dari Adi bin Hatim Radhiyallahu 'anhu, ia berkata : Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam bersabda : “Jika datang bulan Ramadhan puasalah tiga puluh hari kecuali kalian melihat hilal sebelum hari ketiga puluh.” (33)

2. Barangsiapa yang berpuasa pada hari syak (34) , Berarti (ia) telah durhaka kepada Abul Qasim Shalallahu 'alaihi wassalamOleh karena itu, seyogyanya seorang muslim tidak mendahului bulan puasa dengan melakukan puasa satu atau dua hari sebelumnya dengan alasan hati-hati, kecuali kalau bertepatan dengan puasa sunnah yang biasa ia lakukan. Dari Abu Hurairah Radiyallahu 'anhu, ia berkata : Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam pernah bersabda : “Jangan kalian mendahului Ramadhan dengan melakukan puasa satu atau dua hari sebelumnya kecuali seseorang yang telah rutin berpuasa, maka berpuasalah.” (35)Ketahuilah wahai saudaraku, di dalam Islam barangsiapa berpuasa pada hari yang diragukan, (berarti ia) telah durhaka kepada Abul Qashim Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam. Shillah bin Zufar meriwayatkan dari Ammar : “Barangsiapa yang berpuasa pada hari yang diragukan berarti telah durhaka kepada Abul Qasim Shalallahu 'alaihi wassalam.” (36)

3. Jika seorang muslim telah melihat hilal hendaknya kaum muslimin berpuasa atau berbukaMelihat hilal teranggap kalau ada dua orang saksi yang adil, berdasarkan sabda Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam :“Berpuasalah kalian karena melihat hilal, berbukalah kalian karena melihatnya, berhajilah kalian karena melihat hilal, jika kalian tertutup awan, maka sempurnakanlah (bilangan bulan Sya’ban menjadi) tiga puluh hari, jika ada dua saksi berpuasalah kalian dan berbukalah.” (37)Tidak diragukan lagi, bahwa diterimanya persaksian dua orang dalam satu kejadian tidak menunjukkan persaksian seorang diri itu ditolak, oleh karena itu persaksian seorang saksi dalam melihat hilal tetap teranggap (sebagai landasan untuk memulai puasa)., dalam satu riwayat yang shahih dari Ibnu Umar Radiyallahu 'anhu, ia berkata :“Manusia mencari-cari hilal, maka aku kabarkan kepada Nabi bahwa aku melihatnya, maka Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam pun menyuruh manusia berpuasa.” (38)(Dikutip dari Sifat Puasa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam terbitan Pustaka Al-Haura, Jojakarta )(31) HR Bukhari (4/106) dan Muslim (1081).(32) HR Al Bukhari (4/102) dan Muslim (1080)(33) (HR At Thahawi dalam Musykilul Atsar (no 501), Ahmad (4;/377), At Thabrani dalam al Kabir (17/171). Dalam sanadnya ada Musalid bin Said, beliau dhaif sebagaimana dikatakan oleh Al Haitsami dalam Majma Az Zawaid (3/146), akan tetapi hadits ini mempunyai banyak syawahid, lihat Al Irwaul Ghalil (901) karya syaikhuna Al Albany hafidhohullah).(34) yaitu hari yang diragukan , apakah telah memasuki bulan Ramadhan atau belum, ed.(35) HR Muslim (573 – mukhtashar dengan muallaqnya).(36) (HR Bukhari (4/119), dimaushulkan oleh Abu Daud (3334), Tirmidzi (686), Ibnu Majah (3334), An Nasa’I (2199) dari jalan Amr bin Qais al Mala’l dari Abu Ishaq dari Shilah bin Zufar, dari Ammar. Dalam sanadnya ada Abu Ishaq, yakni as Sabi’I mudallis dan dia telah ‘an’anah dalam hadits ini, dia juga tercampur hafalannya, akan tetapi hadits ini mempunyai banyak jalan dan mempunyai syawahid (pendukung) dibawakan oleh al Hadits Ibnu Hajar al Atsqalani dalam Ta’liqu Ta’liq (3/141-142) sehingga beliau menghasankan hadits ini.(37) (HR An Nasa’I (4/133), Ahmad (4/321), Ad Daruquthni (2/167) dari jalan Husain bin Al Harits al Jadali dari Abdurrahman bin Zaid bin Al Khattab dari para shahabat Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam dan sanadnya hasan. Lafadz di atas adalah para riwayat An Nasa’I, Ahmad menambahkan : “Dua orang muslim.”(38) (HR Abu Daud (2342), Ad Darimi (2/4), Ibnu Hibban (871), Al Hakim (1/423), Al Baihaqi (4/212), dari dua jalan, yakni dari jalan Ibnu Wahb dari Yahhya bin Abdullah bin Salim dari Abu Bakar bin Nafi’ dari bapaknya dari Ibnu Umar, sanadnya hasan, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Hajar dalam At Talkhisul Habir (2/187).

Sunday, July 5, 2009

Silaturahim, Keindahan Akhlak Islami

Sabtu, 27-Juni-2009,
Penulis: Al-Ustadz Abu ‘Awanah Jauhari, Lc

وَاعْبُدُوا اللهَ وَلاَ تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَبِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَالْجَارِ ذِي الْقُرْبَى وَالْجَارِ الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ بِالْجَنْبِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ إِنَّ اللهَ لاَ يُحِبُّ مَنْ كَانَ مُخْتَالاً فَخُورًا“
"Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapak, karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil, dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri.” (An-Nisa`: 36)

MukadimahSyariat Islam sungguh indah. Ia mengajarkan adab nan tinggi dan akhlak yang mulia. Menghormati yang lebih tua, menyayangi yang lebih muda, dan selalu berusaha menjaga keutuhan keluarga. Membersihkan berbagai noda di dada yang akan merusak hubungan sesama manusia yang satu keluarga. Menyantuni yang tidak punya dan tidak iri dengki kepada yang kaya.Silaturahim adalah resep mustajab untuk ini semua. Bahkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa silaturahim termasuk inti dakwah Islam, sebagaimana diriwayatkan Abu Umamah, dia berkata:
Amr bin ‘Abasah As-Sulami zberkata:
فَقُلْتُ: بِأَيِّ شَيْءٍ أَرْسَلَكَ؟ قَالَ: أَرْسَلَنِي بِصِلَةِ الْأَرْحَامِ وَكَسْرِ الْأَوْثَانِ وَأَنْ يُوَحَّدَ اللهُ لاَ
يُشْرَكَ بِهِ شَيْءٌ

Aku berkata: “Dengan apa Allah mengutusmu?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Allah mengutusku dengan silaturahim, menghancurkan berhala dan agar Allah ditauhidkan, tidak disekutukan dengan-Nya sesuatupun.” (HR. Muslim, Kitab Shalatul Musafirin, Bab Islam ‘Amr bin ‘Abasah, no. 1927)
An-Nawawi t menjelaskan hadits ini dengan menyatakan: “Dalam hadits ini terdapat dalil yang sangat jelas untuk memotivasi silaturahim. Karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengiringkannya dengan tauhid dan tidak menyebutkan bagian-bagian Islam yang lain kepadanya (‘Amr). Beliau hanya menyebutkan yang terpenting, dan beliau awali dengan silaturahim.” (Syarh Shahih Muslim, 5/354-355, cet. Darul Mu`ayyad)Makna SilaturahimSilaturahim berasal dari bahasa Arab, yaitu dari kata صِلَةٌ dan الرَّحِمُ . Kata صِلَةٌ adalah bentuk mashdar (gerund) dari kata وَصَلَ- يَصِلُ, yang berarti sampai, menyambung. Ar-Raghib Al-Asfahani berkata: “وَصَلَ – الْاِتِّصَالُ yaitu menyatunya beberapa hal, sebagian dengan yang lain.” (Al-Mufradat fi Gharibil Qur`an, hal. 525)Adapun kata الرَّحِمُ, Ibnu Manzhur berkata: “الرَّحِمُ adalah hubungan kekerabatan, yang asalnya adalah tempat tumbuhnya janin di dalam perut.” (Lisanul ‘Arab)Jadi, silaturahim artinya adalah menyambung tali persaudaraan kepada kerabat yang memiliki hubungan nasab.
Penjelasan Ayatوَاعْبُدُوا اللهَ وَلاَ تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun.”Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di t menjelaskan: “Allah l memerintahkan hamba-Nya untuk beribadah kepada-Nya saja, tiada sekutu bagi-Nya. Yaitu masuk dalam penghambaan diri kepada-Nya dan taat terhadap perintah dan larangan-Nya, dengan kecintaan, ketundukan, dan ikhlas untuk-Nya pada semua jenis ibadah, lahiriah maupun batiniah, serta melarang dari menyekutukan sesuatu dengan-Nya. Baik syirik kecil maupun besar, baik dengan malaikat, nabi, wali, ataupun makhluk lainnya yang tidak memiliki bagi diri mereka sendiri manfaat, mudarat, kematian, kehidupan, maupun pembangkitan. Bahkan yang menjadi keharusan (kewajiban) yang pasti adalah mengikhlaskan ibadah bagi Dzat yang memiliki kesempurnaan dari segala sisi, yang milik-Nya lah segala pengaturan. Tidak ada yang menandingi-Nya. Tidak ada yang membantu-Nya.”Setelah Allah l memerintahkan untuk beribadah kepada-Nya dan menunaikan hak-Nya, Allah l memerintahkan untuk menunaikan hak-hak hamba-Nya secara berurutan (sesuai skala prioritas), yang lebih dekat dan seterusnya. Maka Allah l mengatakan:وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا“Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapak.”Artinya, berbuat baiklah kalian kepada mereka dengan ucapan yang mulia, tutur kata yang lembut, dan perbuatan yang baik, dengan menaati perintah mereka berdua dan menjauhi larangan mereka, memberikan nafkah kepada mereka, memuliakan orang yang memiliki hubungan dengan mereka berdua, dan menyambung tali silaturahim, yang mana tidak akan ada kerabat bagimu kecuali dengan perantaraan mereka berdua.Berbakti kepada kedua orangtua memiliki dua lawan, yaitu berbuat jelek (durhaka) dan tidak berbuat baik. Kedua hal ini terlarang.وَبِذِي الْقُرْبَى“(Dan kepada) karib kerabat.”Yakni, berbuat baiklah juga kepada mereka. Kerabat di sini meliputi semuanya, yang dekat ataupun jauh. Berbuat baik kepada mereka dengan perkataan dan perbuatan, serta tidak memutuskan silaturahim dengan mereka, baik dalam bentuk perkataan maupun perbuatan.وَالْيَتَامَى“(Dan kepada) anak-anak yatim.”Anak yatim yaitu orang yang ditinggal mati ayah mereka dalam keadaan masih kecil. Mereka punya hak atas kaum muslimin. Baik anak yatim tersebut termasuk kerabat atau bukan. Bentuk perbuatan baik terhadap mereka yaitu dengan menanggung biaya hidup mereka, berbuat baik dan melipur derita mereka, mendidik mereka dengan pendidikan terbaik, dalam urusan agama maupun dunia.وَالْمَسَاكِينِ“(Dan kepada) orang-orang miskin.”Yaitu orang-orang yang tertahan dengan kebutuhan mereka sehingga tidak mendapatkan kecukupan untuk diri mereka dan orang yang mereka tanggung. Bentuk perbuatan baik kepada mereka adalah dengan menutupi kekurangan mereka, membantu mereka sehingga tercukupi kebutuhannya. Juga dengan mengajak orang lain untuk melakukan hal tersebut dan melakukan apa yang mampu untuk dilakukan.وَالْجَارِ ذِي الْقُرْبَى“(Dan kepada) tetangga yang dekat.”Artinya, kerabat yang rumahnya dekat dengan kita. Sehingga dia mempunyai dua hak atas kita, hak sebagai kerabat dan hak sebagai tetangga. Perbuatan baik di sini dikembalikan kepada adat yang berlaku.Demikian juga dengan:وَالْجَارِ الْجُنُبِ“Tetangga yang jauh.”Yaitu tetangga yang tidak mempunyai hubungan kekerabatan. Dalam hal ini, tetangga yang lebih dekat pintunya lebih besar pula haknya. Sehingga dianjurkan bagi seseorang untuk selalu memerhatikan tetangganya, dengan memberikan hadiah, shadaqah, dengan dakwah, kesopanan, baik dalam ucapan maupun perbuatan. Juga tidak menyakitinya, baik dengan ucapan maupun perbuatan.وَالصَّاحِبِ بِالْجَنْبِ“(Dan kepada) teman sejawat.”Ada yang mengatakan bahwa maksudnya adalah teman dalam perjalanan. Ada juga yang mengatakan maksudnya adalah istri. Ada yang mengatakan maksudnya teman secara mutlak. Dan mungkin pendapat (terakhir) ini lebih benar, karena mencakup teman di rumah, di perjalanan, serta istri.Sehingga, seorang teman memiliki kewajiban terhadap temannya lebih daripada hak Islamnya, untuk membantunya dalam urusan agama maupun dunia, menasihatinya, menepati janji terhadapnya, ketika senang ataupun susah, ketika sedang bersemangat ataupun malas. Hendaknya ia mencintai untuk temannya apa yang dia sukai untuk dirinya, dan membenci apa yang ia benci untuk dirinya. Semakin lama pergaulan dengannya, semakin besar pula haknya.وَابْنِ السَّبِيلِ“(Dan kepada) ibnu sabil.”Yaitu orang asing di negeri lain, yang membutuhkan bantuan materi ataupun tidak. Ia punya hak atas kaum muslimin, karena dia sangat butuh atau karena dia berada di negeri asing. Dia memerlukan bantuan agar sampai ke tempat tujuannya atau tercapai sebagian maksud dan cita-citanya. Juga dengan memuliakan dan menemaninya agar tidak kesepian.وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ“(Dan kepada) hamba sahayamu.”Yaitu apa yang kalian miliki, baik dari kalangan Bani Adam atau dari hewan. Perbuatan baik di sini yaitu dengan mencukupi kebutuhan mereka dan tidak membebani sesuatu yang memberatkan mereka. Membantu mereka melaksanakan hal yang menjadi tanggung jawab mereka. Mendidik mereka untuk kemaslahatan mereka.Maka barangsiapa yang melaksanakan perintah-perintah Allah l dan syariat-Nya, berhak mendapatkan pahala yang besar dan pujian yang indah. Sedangkan orang yang tidak melaksanakan perintah-perintah tersebut, dialah orang yang menjauh dari Rabb-Nya dan tidak taat terhadap perintah-perintah-Nya, tidak rendah hati kepada makhluk-Nya. Bahkan dia adalah orang yang sombong terhadap hamba Allah l, teperdaya dengan dirinya dan bangga dengan ucapannya.Oleh karena itulah Allah l berfirman:إِنَّ اللهَ لاَ يُحِبُّ مَنْ كَانَ مُخْتَالاً“Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong….”Maksudnya, sesungguhnya Allah l tidak mencintai orang yang teperdaya dengan dirinya, sombong terhadap hamba Allah l.فَخُورًا“…dan membangga-banggakan diri.”Yakni, memuji dirinya dan menyanjungnya untuk membanggakan dan menyombongkan dirinya kepada hamba Allah l. (Tafsir As-Sa’di, hal. 191-192, cet. Darus Salam)Dari ayat dan penafsiran di atas, kita bisa berbuat baik kepada seluruh hamba-Nya. Terlebih kepada kerabat-kerabat dekat yang juga muslim, mereka memiliki hak-hak yang banyak atas kita. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:إِنَّ اللهَ كَتَبَ الْإِحْسَانَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ“Sesungguhnya Allah mewajibkan perbuatan baik kepada segala sesuatu.” (HR. Muslim dari Abu Ya’la Syaddad bin Aus z)Targhib (Motivasi)Allah l melengkapi perintah untuk menyambung tali silaturahim dengan memberikan janji dan ancaman. Di antara janji-janji tersebut adalah:1. Surga adalah balasan bagi orang yang menyambung tali silaturahim.Allah l mengatakan:وَالَّذِينَ يَصِلُونَ مَا أَمَرَ اللهُ بِهِ أَنْ يُوصَلَ وَيَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ وَيَخَافُونَ سُوءَ الْحِسَابِ“Dan orang-orang yang menghubungkan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan, dan mereka takut kepada Rabbnya dan takut kepada hisab yang buruk.” (Ar-Ra’d: 21)‘Allamatul Qashim Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di t menyatakan:وَالَّذِينَ يَصِلُونَ مَا أَمَرَ اللهُ بِهِ أَنْ يُوصَلَ“Dan orang-orang yang menghubungkan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan.”Ini umum meliputi semua perkara yang Allah l perintahkan untuk menyambungnya, baik berupa iman kepada-Nya dan kepada Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, mencintai-Nya dan mencintai Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, taat beribadah kepada-Nya semata dan taat kepada Rasul-Nya. Termasuk juga, menyambung kepada bapak dan ibu dengan berbuat baik kepada mereka, dengan perkataan dan perbuatan, tidak durhaka kepada mereka. Juga, menyambung karib kerabat, dengan berbuat baik kepada mereka dalam bentuk perkataan dan perbuatan. Juga menyambung dengan para istri, teman, dan hamba sahaya, dengan memberikan hak mereka secara sempurna, baik hak-hak duniawi ataupun agama.” (Tafsir As-Sa’di, hal. 481, cet. Darus Salam)

Kemudian dalam ayat 22-24 dari surat Ar-Ra’d ini, Allah l memberitahukan:وَالَّذِينَ صَبَرُوا ابْتِغَاءَ وَجْهِ رَبِّهِمْ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَأَنْفَقُوا مِمَّا رَزَقْنَاهُمْ سِرًّا وَعَلَانِيَةً وَيَدْرَءُونَ بِالْحَسَنَةِ السَّيِّئَةَ أُولَئِكَ لَهُمْ عُقْبَى الدَّارِ. جَنَّاتُ عَدْنٍ يَدْخُلُونَهَا وَمَنْ صَلَحَ مِنْ ءَابَائِهِمْ وَأَزْوَاجِهِمْ وَذُرِّيَّاتِهِمْ وَالْمَلَائِكَةُ يَدْخُلُونَ عَلَيْهِمْ مِنْ كُلِّ بَابٍ(23)سَلَامٌ عَلَيْكُمْ بِمَا صَبَرْتُمْ فَنِعْمَ عُقْبَى الدَّارِ“Orang-orang itulah1 yang mendapat tempat kesudahan (yang baik), (yaitu) surga `Adn yang mereka masuk ke dalamnya bersama-sama dengan orang-orang yang saleh dari bapak-bapaknya, istri-istri dan anak cucunya, sedang malaikat-malaikat masuk ke tempat-tempat mereka dari semua pintu; (sambil mengucapkan): ‘Salamun ‘alaikum bima shabartum’. Maka alangkah baiknya tempat kesudahan itu.”Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga memberikan penjelasan yang sama sebagaimana dalam hadits dari Abu Ayyub Khalid bin Zaid Al-Anshari z:يَا رَسُولَ اللهِ، أَخْبِرْنِي بِعَمَلٍ يُدْخِلُنِي الْجَنَّةَ وَيُبَاعِدُنِي مِنَ النَّارِ. فَقَال النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: تَعْبُدُ اللهَ وَلاَ تُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا، وَتُقِيْمُ الصَّلاَةَ، وَتُؤْتِي الزَّكَاةَ، وَتَصِلُ الرَّحِمَ“Seseorang berkata: ‘Ya Rasulullah, beritahukan kepadaku amalan yang akan memasukkan aku ke surga dan menjauhkanku dari neraka.” Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan: “Engkau beribadah kepada Allah dan tidak menyekutukan sesuatu dengan-Nya, menegakkan shalat, menunaikan zakat, dan menyambung silaturahim’.” (HR. Al-Bukhari, 3/208-209, Muslim no. 13)2.
Shadaqah kepada kerabat berpahala ganda.Dari Salman bin ‘Amr z, dari Nabiyullah Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau berkata:الصَّدَقَةُ عَلىَ الْمِسْكِينِ صَدَقَةٌ، وَعَلَى ذِي الرَّحِمِ ثِنْتَانِ؛ صَدَقَةٌ وَصِلَةٌ“Shadaqah kepada orang miskin itu satu shadaqah. Dan shadaqah kepada kerabat itu dua shadaqah; shadaqah dan penyambung silaturahim.” (HR. At-Tirmidzi no. 685, Abu Dawud no. 2335, An-Nasa`I 5/92, Ibnu Majah no. 1844. At-Tirmidzi mengatakan hadits ini hasan. Ibnu Hibban menshahihkannya)3. Orang yang menyambung tali silaturahim akan dilapangkan rizkinya dan dipanjangkan umurnya.Dari Anas z, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ وَيُنْسَأُ لَهُ فِي أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ“Siapa yang ingin dilapangkan rizkinya dan dipanjangkan umurnya, hendaknya ia menyambung tali silaturahimnya.” (HR. Al-Bukhari 10/348, Muslim no. 2558, Abu Dawud no. 1693)Tarhib (Ancaman)Di samping janji-janji, syariat juga melengkapi perintah untuk bersilaturahim dengan ancaman-ancaman keras bagi yang memutuskannya. Di antara ancaman-ancaman tersebut adalah:1. Laknat Allah l dan tempat kembali yang buruk (neraka) bagi yang memutus tali silaturahim.Allah l mengatakan dalam surat Ar-Ra’d ayat 25:وَالَّذِينَ يَنْقُضُونَ عَهْدَ اللَّهِ مِنْ بَعْدِ مِيثَاقِهِ وَيَقْطَعُونَ مَا أَمَرَ اللَّهُ بِهِ أَنْ يُوصَلَ وَيُفْسِدُونَ فِي الْأَرْضِ أُولَئِكَ لَهُمُ اللَّعْنَةُ وَلَهُمْ سُوءُ الدَّارِ“Orang-orang yang merusak janji Allah setelah diikrarkan dengan teguh dan memutuskan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan dan mengadakan kerusakan di bumi, orang-orang itulah yang memperoleh kutukan dan bagi mereka tempat kediaman yang buruk (Jahannam).”Hal ini ditegaskan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana dalam hadits dari Abu Muhammad Jubair bin Muth’im z, bahwa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ قَاطِعٌ. قَالَ سُفْيَانُ فِي رِوَايَتِهِ: يَعْنِي قَاطِعَ رَحِمٍ“Tidak akan masuk surga, orang yang memutuskan.”Sufyan Ats-Tsauri t mengatakan dalam riwayatnya: “Maksudnya, orang yang memutuskan tali silaturahim.” (HR. Al-Bukhari 10/347 dan Muslim no. 2556)2. Dijadikan buta dan tuli.Allah l berfirman:فَهَلْ عَسَيْتُمْ إِنْ تَوَلَّيْتُمْ أَنْ تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ وَتُقَطِّعُوا أَرْحَامَكُمْ. أُولَئِكَ الَّذِينَ لَعَنَهُمُ اللهُ فَأَصَمَّهُمْ وَأَعْمَى أَبْصَارَهُمْ“Maka apakah kiranya jika kamu berkuasa kamu akan membuat kerusakan di muka bumi dan memutuskan silaturahim kalian? Mereka itulah orang-orang yang dilaknati Allah dan ditulikan-Nya telinga mereka dan dibutakan-Nya penglihatan mereka.” (Muhammad: 22-23)

Ayat ini merupakan ancaman bagi orang yang memutuskan tali silaturahim, sebagaimana dijelaskan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits dari Abdullah bin Mas’ud z, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:إِنَّ اللهَ خَلَقَ الْخَلْقَ حَتَّى إِذَا فَرَغَ مِنْهُمْ قَامَتِ الرَّحِمُ فَقَالَتْ: هَذَا مَقَامُ الْعَائِذِ بِكَ
مِنَ الْقَطِيْعَةِ. قاَلَ: نَعَمْ، أَمَا تَرْضَيْنَ أَنْ أَصِلَ مَنْ وَصَلَكِ وَأَقْطَعَ مَنْ قَطَعَكِ؟ قَالَتْ: بَلىَ. قَالَ: فَذَلِكِ لَكِ. ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اقْرَؤُوا إِنْ شِئْتُمْ: فَهَلْ عَسَيْتُمْ إِنْ تَوَلَّيْتُمْ أَنْ تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ وَتُقَطِّعُوا أَرْحَامَكُمْ. أُولَئِكَ الَّذِينَ لَعَنَهُمُ اللهُ فَأَصَمَّهُمْ وَأَعْمَى أَبْصَارَهُمْ

“Sesungguhnya Allah menciptakan makhluk. Setelah selesai dari mereka, berdirilah Ar-Rahim (rahim) dan mengatakan: ‘Inilah kedudukan (makhluk) yang minta perlindungan kepada-Mu dari diputus hubungan.’ Allah mengatakan: ‘Ya. Tidakkah engkau puas (bahwa) Aku akan menyambung siapa yang menyambungmu, dan memutus siapa yang memutusmu?’ Ar-Rahim mengatakan: ‘Ya.’ Allah menyatakan: ‘Itu bagimu’.”Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan: “Bacalah bila kalian mau:فَهَلْ عَسَيْتُمْ إِنْ تَوَلَّيْتُمْ أَنْ تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ وَتُقَطِّعُوا أَرْحَامَكُمْ. أُولَئِكَ الَّذِينَ لَعَنَهُمُ اللهُ فَأَصَمَّهُمْ وَأَعْمَى أَبْصَارَهُمْ“Maka apakah kiranya jika kamu berkuasa kamu akan membuat kerusakan di muka bumi dan memutuskan silaturahim kalian? Mereka itulah orang-orang yang dilaknati Allah dan ditulikan-Nya telinga mereka dan dibutakan-Nya penglihatan mereka.” (Muhammad: 22-23) [HR. Al-Bukhari 10/349, 13/392 dan Muslim no. 2554]3.

Orang yang memutuskan tali silaturahim segera mendapatkan azab di dunia dan akhirat.Dari Abu Bakrah z, dia mengatakan: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:مَا مِنْ ذَنْبٍ أَجْدَرُ أَنْ يُعَجِّلَ اللهُ تَعَالَى لِصَاحِبِهِ الْعُقُوبَةَ فِي الدُّنْيَا مَعَ مَا يَدَّخِرُ لَهُ فِي الْآخِرَةِ مِثْلُ الْبَغْيِ وَقَطِيْعَةِ الرَّحِمِ“Tidak ada dosa yang pantas untuk disegerakan hukumannya oleh Allah bagi pelakunya di dunia bersamaan dengan (hukuman) yang disimpan untuknya di akhirat, daripada kezaliman dan pemutusan silaturahim.” (HR. Ahmad, 5/36, Abu Dawud, Kitabul Adab (43) no. 4901, dan ini lafadz beliau, At-Tirmidzi dalam Shifatul Qiyamah no. 1513, dan beliau mengatakan hadits ini shahih, Ibnu Majah dalam Kitab Az-Zuhd bab Al-Baghi, no. 4211)

Menyambung Silaturahim Bukan Sekadar MembalasBanyak orang yang mengakrabi saudaranya setelah saudaranya mengakrabinya. Mengunjungi saudaranya setelah saudaranya mengunjunginya. Memberikan hadiah setelah ia diberi hadiah, dan seterusnya. Dia hanya membalas kebaikan saudaranya. Sedangkan kepada saudara yang tidak mengunjunginya –misalnya– tidak mau dia berkunjung. Ini belum dikatakan menyambung tali silaturahim yang sebenarnya. Yang disebut menyambung tali silaturahim sebenarnya adalah orang yang menyambung kembali terhadap orang yang telah memutuskan hubungan kekerabatannya. Hal ini dijelaskan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Abdullah bin ‘Amr c, dari beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam:لَيْسَ الْوَاصِلُ بِالْمُكَافِئِ وَلَكِنَّ الْوَاصِلَ الَّذِي إِذَا قُطِعَتْ رَحِمُهُ وَصَلَهَا“Bukanlah penyambung adalah orang yang hanya membalas. Tetapi penyambung adalah orang yang apabila diputus rahimnya, dia menyambungnya.” {HR. Al-Bukhari, Kitabul Adab bab (15) Laisal Washil bil Mukafi, no. 5991}Ibnu Hajar t mengatakan: “Peniadaan sambungan tidak pasti menunjukkan adanya pemutusan. Karena mereka ada tiga tingkatan: (1) orang yang menyambung, (2) orang yang membalas, dan (3) orang yang memutuskan. Orang yang menyambung adalah orang yang melakukan hal yang lebih dan tidak diungguli oleh orang lain.

Orang yang membalas adalah orang yang tidak menambahi pemberian lebih dari apa yang dia dapatkan. Sedangkan orang yang memutuskan adalah orang yang diberi dan tidak memberi. Sebagaimana terjadi pembalasan dari kedua pihak, maka siapa yang mengawali berarti dialah yang menyambung. Jikalau ia dibalas, maka orang yang membalas dinamakan mukafi` (pembalas). Wallahu a’lam.” (Fathul Bari, 10/427, cet. Dar Rayyan)Orang yang terus berbuat baik kepada kerabat mereka meskipun mereka berbuat jelek kepadanya, tidak akan rugi sedikit pun. Bahkan akan selalu ditolong oleh Allah l. justru kerabat yang tidak mau membalas kebaikan itulah yang mendapat dosa yang besar akibat perbuatan mereka. Seperti dalam hadits Ibnu Mas’ud z: Ada seseorang berkata kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam:يَا رَسُولَ اللهِ، إِنَّ لِي قَرَابَةً أَصِلُهُمْ وَيَقْطَعُونِي وَأُحْسِنُ إِلَيْهِمْ وَيُسِيئُونَ إِلَيَّ وَأَحْلِمُ عَنْهُمْ وَيَجْهَلُونَ عَلَيَّ. فَقَالَ: لَئِنْ كُنْتَ كَمَا قُلْتَ فَكَأَنَّمَا تُسِفُّهُمُ الْمَلَّ وَلاَ يَزَالُ مَعَكَ مِنَ اللهِ ظَهِيٌر عَلَيْهِمْ مَا دُمْتَ عَلَى ذَلِكَ“Wahai Rasulullah, aku mempunyai kerabat dan aku sambung mereka, tetapi mereka memutuskanku. Aku berbuat baik kepada mereka tetapi mereka berbuat jelek terhadapku. Aku bersabar terhadap mereka, tetapi mereka selalu berbuat jahil kepadaku.” Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Jika engkau seperti yang engkau katakan, maka seolah-olah engkau melemparkan abu panas ke wajah mereka dan pertolongan Allah tetap bersamamu menghadapi mereka selama engkau seperti itu.” (HR. Muslim, Kitabul Birr wash-Shilah, bab Silaturahim wa tahrimu qathi’atiha, no. 6472)Silaturahim kepada Kerabat Non MuslimAllah l telah berfirman:لَا يَنْهَاكُمُ اللهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ“Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (Al-Mumtahanah: 8)
‘Allamatul Qashim Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di t menjelaskan: “Artinya, Allah l tidak melarang kalian dari kebaikan, silaturahim, dan membalas kebaikan serta berlaku adil terhadap kerabat kalian dari kalangan kaum musyrikin atau yang lain. Hal ini bila mereka tidak mengobarkan peperangan dalam agama terhadap kalian, tidak mengusir kalian dari rumah-rumah kalian. Maka tidak mengapa kalian berhubungan baik dengan mereka dalam keadaan seperti ini, tidak ada kekhawatiran dan kerusakan padanya.”Abul Fida` Ismail bin Katsir t menafsirkan ayat ini dengan membawakan hadits dari Asma` bintu Abu Bakr Ash-Shiddiq c, dia mengatakan:قَدِمَتْ أُمِّي وَهِيَ مُشْرِكَةٌ فِي عَهْدِ قُرَيْشٍ .... فَأَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ، إِنَّ أُمِّي قَدِمَتْ وَهِيَ رَاغِبَةٌ، أَفَأَصِلُهَا؟ قَالَ: نَعَمْ، صِلِي أُمَّكِ“Ibuku datang dalam keadaan masih musyrik, di waktu perjanjian damai yang disepakati orang Quraisy. Maka aku datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan bertanya: ‘Wahai Rasulullah, ibuku datang dan ia ingin berbuat baik. Bolehkah aku berbuat baik kepadanya?’ Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: ‘Ya, berbuat baiklah kepada ibumu’.” (HR. Ahmad 6/344, Al-Bukhari, Kitabul Adab bab (7) no. 5978 dan 5979, Muslim Kitabuz Zakat (50) no. 2322)
Jadi jelaslah bahwa berbuat baik kepada kerabat adalah suatu hal yang disyariatkan, meskipun dia non-muslim. Dengan syarat, dia bukan orang yang memerangi agama kita, dan tentunya tidak ada loyalitas dalam hati kita terhadap agamanya. Justru kita harapkan dengan sikap dan perilaku kita yang baik kepada orang semacam ini, menjadi sebab datangnya hidayah dalam hati kerabat kita tersebut, sehingga ia masuk Islam dan meninggalkan kekafirannya.Wallahul hadi ila sawa`is sabil.1 Yang memiliki sifat-sifat yang disebutkan dalam beberapa ayat sebelumnya.http://www.asysyariah.com/print.php?id_online=725

Thursday, June 4, 2009

Permata yang Hilang

Rabu, 03-Juni-2009, Penulis: Buletin Jum’at At-Tauhid

Akhlaq di zaman ini ibarat permata yang hilang pada diri kebanyakan insan. Kita akan menyaksikan kemunduran akhlaq merebak dimana-mana; mulai dari anak kecil sampai orang tua, kecuali orang yang dirahmati Allah -Azza wa Jalla-. Tak heran jika koran-koran dan media massa lainnya dipenuhi dengan berita-berita yang memuakkan, dan rendah; menunjukkan terjadinya erosi dan krisis akhlaq alias moral pada diri generasi muslim, terlebih lagi yang kafir.
Krisis ini terjadi dalam semua lini kehidupan; mulai dari cara makan, buang air, bermu’amalah dengan anak kecil atau orang tua, cara berdagang, beribadah, berpolitik, berkata dan berucap. Semuanya jauh dari tuntunan Allah & Rasul-Nya. Tak heran jika kita akan melihat generasi kita banyak yang cinta musik, padahal musik itu HARAM.

Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda dalam mengharamkannya,
لَيَكُوْنَنَّ مِنْ أُمَّتِيْ أَقْوَامٌ يَسْتَحِلُّوْنَ الْحِرَّ وَالْحَرِيْرَ وَالْخَمْرَ وَالْمَعَازِفَ
"Akan ada beberapa kaum diantara ummatku yang akan menghalalkan zina, kain sutera (bagi laki-laki), khomer, dan musik". [HR. Al-Bukhoriy dalam Shohih-nya (5590), dan Abu Dawud dalam Sunan-nya (4039)]

Sekalipun Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- telah menyatakan haramnya musik, maka tetap saja musik menjamur. Setiap sudut kota dan desa dikotori oleh seruling setan itu (yakni, musik). Bahkan para pemuda berlomba membentuk club-club dan grup-grup musik; maka muncullah konfilasi band-band, semisal Padi, Raja, Ungu, Keris Patih, Dewa 19, dan lainnya. Parahnya lagi, sebagian grup band ini membuat lagu-lagu yang bernafas "islam" yang dihiasi oleh musik. Akibatnya, kaum awam tertipu dan menyangka bahwa disana ada musik islami. Padahal semua musik adalah haram, sebab semuanya akan memalingkan manusia dari mempelajari Al-Kitab dan Sunnah, dan menghabiskan waktu. Allah -Ta’ala- berfirman menceritakan kondisi sebagian manusia yang menciptakan nyanyian untuk menjauhkan manusia dari Al-Qur’an,

"Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan, dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan".(QS. Luqman: 6).

Apa yang dimaksud dengan "perkataan yang tidak berguna"? Mari kita dengarkan tafsirannya dari dua Imam ahli tafsir, dan ulamanya para sahabat.

Abish Shohba’ Al-Bakriy berkata, "Abdullah bin Mas’ud pernah ditanya tentang ayat ini (lalu ia bawakan ayat di atas), maka Abdullah bin Mas’ud berkata,
هُوَ -وَ اللهِ- الْغِنَاءُ

"Demi Allah, itu adalah nyanyian". [HR. Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushonnaf (21130), Ath-Thobariy dalam Jami' Al-Bayan (10/201), Al-Baihaqiy dalam Syu'abul Iman (5096), dan Al-Hakim dalam Al-Mustadrok alaa Ash-Shohihain (3542). Hadits ini di-shohih-kan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Ash-Shohihah (jilid 6/hal. 1017)]

Abdullah ibnu Abbas-radhiyallahu ‘anhu- berkata,
هُوَ الْغِنَاءُ وَأَشْبَاهُهُ

"Itu adalah nyanyian dan semisalnya" . [HR. Ibnu Abi Syaibah (21137), Al-Bukhoriy dalam Al-Adab Al-Mufrod (786 & 1265), Ibnu Abid Dun-ya dalam Dzammul Malahi (no.12), Ath-Thobariy dalam Jami' Al-Bayan (10/201), dan Al-Baihaqiy dalam Sunan-nya (20793). Hadits ini di-hasan-kan oleh Syaikh Muhammad bin Musa Alu Nashr & Salim Al-Hilaliy dalam Al-Isti'ab fi Bayan Al-Asbab (3/63)]

Ayat di atas merupakan bukti nyata bahwa seorang yang mencintai nyanyian, apalagi diiringi musik, maka ia akan terpalingkan dari jalan Allah, sadar atau tidak !! Lihatlah para remaja –bahkan juga orang tua- yang kecanduan lagu dan musik, ia akan malas membaca Al-Qur’an, sholat, dan melakukan kebaikan. Malas mendengarkan nasihat, dan membenci orang-orang sholeh yang menasihatinya tentang haramnya musik. Jika ia dinasihati, maka hatinya kesal dan bergumam, "Wah, anda sok alim". Perlahan-lahan setan membuatnya berpaling dari kebenaran dan kebaikan yang terdapat dalam Al-Qur’an.

Karenanya Allah berfirman setelah ayat di atas,
"Dan apabila dibacakan kepadanya ayat-ayat Kami, dia berpaling dengan menyombongkan diri seolah-olah dia belum mendengarnya, seakan- akan ada sumbat di kedua telinganya; maka beri kabar gembiralah dia dengan azab yang pedih".(QS. Luqman : 7).

Telinganya telah ditulikan oleh suara-suara setan alias musik, hatinya keras tak mau menerima kebenaran, karena ia telah dikuasai oleh setan.
Sebaliknya, jika ia mendengarkan lolongan setan yang bernama musik, maka hatinya akan girang, dan telinganya terbuka. Sungguh sial orang-orang seperti ini. Orang-orang seperti ini akan dipalingkan hatinya oleh Allah -Ta’ala- sampai ia dikuasai oleh setan. Akhirnya, kondisinya sebagaimana yang Allah firmankan,

"Barangsiapa yang berpaling dari pengajaran Tuhan yang Maha Pemurah (yakni, Al Quran), Kami adakan baginya syaitan (yang menyesatkan) Maka syaitan Itulah yang menjadi teman yang selalu menyertainya". (QS. Az-Zukhruf : 36).

Demikianlah nasib seorang yang berpaling dari pengajaran dan petunjuk Allah; ia akan diiringi oleh setan yang akan menyesatkannya dari jalan kebenaran. Tak heran jika banyak diantara pemuda kita yang telah terlepas dari aturan agamanya akibat setan yang menyesatkannya. Lihatlah bagaimana setan menyesatkan para pemuda muslim yang gandrung dan mabuk kepayang dengan ALIRAN musik UNDERGROUND, semisal: Black Metal, Punk, Cresh Metal, Heavy Metal, dan lainnya. Mereka telah ditelanjangi oleh setan dari aturan Islam, agama Allah Yang Maha Perkasa; tak ada lagi istilah halal dan haram, semuanya halal !!

Tak heran jika ada diantara mereka yang minum darah, menusuk hidungnya atau telinganya dengan perhiasan. Padahal semua itu haram !! Diantara mereka, ada yang mengucapkan kata-kata jorok, bahkan kata-kata KAFIR berupa penghinaan kepada Allah, agama-Nya, Rasul-Nya, hari pembalasan, meremehkan neraka & siksaannya. Sebaliknya, malah mengagungkan Iblis, setan, dan simbol-simbol kekafiran, kemaksiatan, dan kedurhakaan. Sungguh, sungguh aneh, ber-KTP muslim, namun perbuatannya maksiat & kafir !! Na’udzu billah minal khudzlan.
Inilah realita pemuda muslim yang senang musik, lalu musik mengantarkan dirinya kepada jurang kekafiran, akibat menganut dan taqlid buta kepada sebagian aliran musik yang ekstrim.

Sebagian ulama salaf berkata,
الْمَعَاصِيْ بَرِيْدُ الْكُفْرِ كَمَا أَنَّ الْقُبْلَةَ بَرِيْدُ الْجِمَاعِ وَالْغِنَاءَ بَرِيْدُ الزِّنَا وَالنَّظَرَ بَرِيْدُ الْعِشْقِ وَالْمَرَضَ بَرِيْدُ الْمَوْتِ

"Maksiat adalah pengantar menuju kekafiran sebagaimana halnya ciuman pengantar menuju jimak, nyanyian adalah pengantar menuju zina, pandangan adalah pengantar menuju kerinduan, dan sakit pengantar menuju kematian". [Lihat Al-Jawab Al-Kafi (hal. 33) karya Ibnul Qoyyim]

Maka lihatlah pengaruh maksiat, seperti musik; musik mengantarkan kepada kekafiran. Awalnya pemuda kita senang dengan musik pop, dari pop pindah ke rock, dari rock pindah ke aliran musik UNDERGROUND. Disinilah ia memungut kebiasaan yang amat jelek, mulai cara berpakaian, cara ngomong, cara berjalan, merokok, cara berpenampilan, dan lainnya.
Aliran musik –khususnya Black Metal- amat gandrung dengan atribut, dan pakaian hitam yang bergambar kepala kambing atau tengkorak, karena konon kabarnya hitam adalah lambang kesesatan dan kekafiran; sedang tengkorak sebagai lambang morfinis.

Sepatu, rambut, kendaraan, pakaian dan atribut lainnya, semuanya berusaha dimodel ala artis dan idola mereka, walaupun ia kafir, semisal Curl Cobain, Meihem, dan lainnya. Walaupun idola mereka ini kafir dan durhaka kepada Allah, tapi tetap dicintai oleh pemuda "MUSLIM" yang tergila-gila dengannya.

Padahal Allah berfirman,
"Kamu tak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat, saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau Saudara-saudara ataupun keluarga mereka. Meraka itulah orang-orang yang telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang dari-Nya. dan dimasukan-Nya mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah ridha terhadap mereka, dan merekapun merasa puas terhadap (limpahan rahmat)-Nya. mereka Itulah hizbullah (golongan Allah). Ketahuilah, bahwa sesungguhnya hizbullah itu adalah golongan yang beruntung". (QS. Al-Mujadilah: 22).

Syaikh Muhammad bin Sulaiman At-Tamimiy-rahimahullah- berkata, "Barangsiapa yang mentaati Rasul -Shollallahu ‘alaihi wasallam- , dan mengesakan Allah, maka tak boleh baginya mencintai orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, walaupun orang yang ia cintai adalah kerabat terdekatnya". [Lihat Tashil Al-Ushul Ats-Tsalatsah (hal. 11), cet. Dar Ibnu Rajab]

Seorang muslim hendaknya mencintai dan mencontoh orang-orang sholeh, seperti Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam-, para sahabatnya, dan pengikutnya yang setia. Janganlah kalian tertipu dan terpedaya dengan kehidupan dunia yang Allah berikan kepada orang-orang kafir dan pelaku maksiat. Glamournya dunia ini nampak indah, namun hakikatnya musibah.

Allah -Ta’ala- juga berfirman
"Ketahuilah, bahwa Sesungguhnya kehidupan dunia Ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah- megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; Kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning Kemudian menjadi hancur. dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. dan kehidupan dunia Ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu". (QS. Al-Hadid: 20).
Dunia lebih kita dahulukan dibandingkan akhirat, padahal akhirat lebih baik dan lebih abadi di sisi Allah. Tak heran jika sebagian manusia mengutamakan pekerjaan dan perdagangannya ketika waktu sholat telah tiba sehingga masijd-masjid Allah kosong dari jama’ah. Dunia hanyalah ladang perbekalan menuju kehidupan akhirat yang lebih baik, bukan tujuan akhir.
Allah -Azza wa Jalla- berfirman,

"Dan tiadalah kehidupan dunia ini, selain dari main-main dan senda gurau belaka. Dan sungguh kampung akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertaqwa. Maka Tidakkah kamu memahaminya?" (QS. Al-An’aam: 32).

Kini anda telah tahu bahwa dunia hanyalah persinggahan sementara dalam mengambil bekal menuju akhirat; menuju perjumpaan dengan Allah -Azza wa Jalla-. Maka ambillah dari dunia sesuatu yang bermamfaat bagi akhiratmu; namun jangan sampai kalian terpedaya dengan gemerlap dan hijaunya dunia ini.


Sumber : Buletin Jum’at At-Tauhid edisi 100 Tahun II. Penerbit : Pustaka Ibnu Abbas. Alamat : Pesantren Tanwirus Sunnah, Jl. Bonto Te’ne No. 58, Kel. Borong Loe, Kec. Bonto Marannu, Gowa-Sulsel. HP : 08124173512 (a/n Ust. Abu Fa’izah). Pimpinan Redaksi/Penanggung Jawab : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Dewan Redaksi : Santri Ma’had Tanwirus Sunnah – Gowa. Editor/Pengasuh : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Layout : Abu Dzikro. Untuk berlangganan/pemesanan hubungi : Ilham Al-Atsary (085255974201). (infaq Rp. 200,-/exp)

http://almakassari.com/artikel-islam/akhlak/permata-yang-hilang.html

Wednesday, June 3, 2009

Vitamins and Minerals Reduce Asthma Symptoms

Filed under: NewsThursday, May 28 2009 - by SoundHealth
Key topics: Asthma Vitamin D Vitamin C Vitamin A Folate

Asthma is a chronic condition that affects the airways, causing them to become narrow and inflamed, resulting in symptoms like recurrent attacks of shortness of breath, wheezing, cough and expectoration of mucus.

Research is showing that asthma is on the increase, especially among children. Many reasons have been suggested for this increase, including increased pollution of air, food, and water, a junk food diet, increased stress on the immune system, increased and early vaccination, and the increase of new allergens such as genetically modified organisms.

Many recent studies as well as a review of 40 older studies spanning 30 years and from all over the world, show the crucial role of basic nutrients in reducing the incidence and severity of asthma. These studies show the vital role of vitamins A, C, D, folates, zinc and omega-3 on reducing asthma symptoms.

vitamin D

Researchers from Costa Rica found that 175 out of 616 asthmatic children were, incredibly (considering the sunny climate), deficient in vitamin D, and that these particular children needed hospitalization for their asthma more frequently. Their low vitamin D levels were associated with increased Immunoglobulin E (IgE) levels (markers of allergy) and asthma severity. The study concluded:
Conclusions: Our results suggest that vitamin D insufficiency is relatively frequent in an equatorial population of children with asthma. In these children, lower vitamin D levels are associated with increased markers of allergy and asthma severity.
Research paper details:
Brehm JM, et al. Serum vitamin D Levels and Markers of Severity of Childhood asthma in Costa Rica. Am. J. Respir and Critical Care medicine Vol 179. pp. 765-771, (2009)

Vitamins A and C

Meanwhile, researchers from Nottingham reviewed 40 studies and 30 years of research. They analyzed data from research papers on asthma, wheeze, or airway responsiveness in relation to intakes and serum concentrations of vitamins A, C and E. The researchers concluded that "relatively low dietary intakes of vitamins A and C are associated with statistically significant increased odds of asthma and wheeze."
Research paper details:
Allen S, Britton J, Leonardi-Bee J. Association between antioxidant vitamins and asthma outcomes: Systematic review and meta-analysis. Thorax. Published Online First: 30 April 2009

folate

Two researchers from the US reviewed the medical records of more than 8000 people, collecting data on blood levels of folate (the naturally-occurring form of folic acid, or vitamin B9), respiratory and allergic symptoms, and IgE (Immunoglobulin) levels. They found that higher folate levels were associated with lower levels of the IgE allergy marker, fewer reported allergies, fewer episodes of wheezing, and reduced incidence of asthma. The lowest folate levels were associated with a 40% increase in risk of wheezing, a 30% higher risk of elevated IgE, and a 16% higher risk of having asthma as compared to the highest folate levels.

Research paper details:
Matsui EC, Matsui W. Higher serum folate levels are associated with a lower risk of atopy and wheeze. Journal of allergy and Clinical Immunology 2009. Article in Press

Nutrients Work Together
In addition to these individual vitamins and minerals, many studies have supported the importance of nutrient synergy in reducing asthma risk. For example, a randomised, double blind, placebo-self-controlled trial carried out in Egypt, found that a combined supplement containing omega-3, Vitamin C and zinc was associated with significant improvements in asthma symptoms, lung function, and markers of inflammation in the lungs. This was also found to be the case for each single nutrient alone, but the effects were greater when the nutrients were given in combination.

Conclusion: Diet supplementation with omega-3 fatty acids, Zn and Vitamin C significantly improved asthma control test, pulmonary function tests and pulmonary inflammatory markers in children with moderately persistent bronchial asthma either singly or in combination.

Research paper details:
Al Biltagi M et al. Omega-3 fatty acids, Vitamin C and Zn supplementation in asthmatic children: a randomized self-controlled study. Acta Paediatrica Volume 98 Issue 4, Pages 737 - 742 2009

All of these nutrients can be obtained from a well-balanced diet of good quality whole foods such as fruits, vegetables, and whole grains, and good food sources of these individual nutrients have been given in previous articles.

Friday, May 22, 2009


The Islaamic Ruling on Celebrating the European Year 2000 and Related Matters

Thursday, 14 June 2007

By the Standing Committee of Major Scholars

After receiving many questions and queries concerning Y2K, the Committee of Major Scholars decided to respond to this issue with detailed points. In addition to establishing the falsehood behind the paranoia that erupted due to the approach of Y2K, they also bring many important benefits from the great work of Shaykhul-Islaam Ibn Taymiyyah called Iqtidaa‘us-Siraatil-Mustaqeem.
This occasion and its like is not at all free from the mixing of truth and falsehood nor the invitation to disbelief and misguidance nor licentiousness and apostasy and is a manifestation of evil according to Islaam.


All praise is due to Allaah Alone and may Blessing and Exaltation be upon the one after whom there will be no other prophet.

TO PROCEED:

Many inquiries directed to the Muftee (principle religious authority of Saudi Arabia) have been read by the Permanent Council as well as those addressed to them under the auspices of the Committee of Senior Scholars…(a list of reference numbers and dates given). The questions asked were for rulings concerning the year 2000 and celebrating it and other related matters. It is sufficient that we mention just two of those questions:

One: We see this year many announcements regarding preparations in anticipation of the year 2000 and the start of the third millennium. The disbelievers among the Jew and the Christians, as well as others are delighted and happy and have many hopes put in this occasion. The question to you honourable Shaykh (i.e. the Muftee) is: There are some among the claimants to Islaam who are greatly concerned with this and consider it a joyous occasion and they have even tied their weddings or work to it. They have taken up giving invitations for the occasion at their stores and businesses and likewise in a manner that saddens and aggrieves the Muslim. What is the Islaamic ruling on glorifying this occasion and celebrating it and exchanging congratulations for it either verbally or by exchanging cards and the like? May Allaah reward you and Muslims the best of rewards.

Two: The Jews and Christians are preparing for the arrival of the year 2000 according to their reckoning in an extraordinary manner to propagate their plans and beliefs throughout the world, particularly in Islaamic countries. Some Muslims have been influenced by this propaganda and have begun preparing for it by announcing discounts on products and one fears the matter being raised to the point of affecting Muslim belief and their allegiance and support of the non-Muslims. We hope for a statement of ruling on Muslims participating with disbelievers in their celebrations and making propaganda for it and celebrating it or extending work hours in some establishments and companies for this occasion. Does acting
upon any of these things and their like or accepting them have an affect on the Muslim’s belief?

AFTER RESEARCHING THE QUESTIONS, THE COUNCIL REPLIES AS FOLLOWS:

The greatest of favours, which Allaah has bestowed upon His slaves, is the favour of Islaam and guidance to the Straight Path. It is from His – the Glorified – mercy to have obliged His believing slaves to seek guidance in their prayers and they therefore seek attaining that guidance to the Straight Path and to be made firm thereupon. Allaah has characterized this Path as being the one that is the path of those whom Allaah has blessed from among the prophets and the truthful and the martyrs and the righteous and not the path of the deviants from it amongst the Jews and the Christians and the remainder of the disbelievers and polytheists. If this is realized, then it is a duty upon the Muslim to recognize the measure of blessing and favour of Allaah upon him and therefore must thank Allaah verbally and by action and by belief. It is upon him to safeguard this favor and look after it and do that which will safeguard it from decline. A look by anyone who has been given insight into the Religion of Allaah at today’s world where truth is mixed with falsehood for many people, he will see the clear efforts of the enemies of Islaam to eradicate its realities and extinguish its light as well as the efforts to distance the Muslims from it and cut their ties to it by every means possible. Not to mention distorting its image and making accusations and insinuations and lies in order to block humanity from the Way of Allaah and belief in what was revealed to his Messenger Muhammad Ibn ’Abdullaah (sallAllaahu ’alayhi wa sallam). This is affirmed by the statement of Allaah:
‘‘Many of the People of the Scripture desire that you would revert after having accepted faith to being disbelievers out of envy within themselves after the truth has been made plain to them.’’ [ Soorah Aali-’Imraan 3:100]

Also is His statement:

"A group of the People of Scripture desire that they could lead you astray but they misguide none but themselves although they perceive it not.’’ [Sooratul-Baqarah 2:109]

Also His Words:
"O you who believe if you follow those who disbelieve they will surely cause you to turn upon your heels and then you would become losers.’’ [Soorah Aali-’Imraan 3:139]

And His statement:

"O People of the Scripture why do you block those who believe from the Path of Allaah, seeking crookedness while you are witnesses and Allaah is not unaware of what you do?’’ [Soorah Aali ’Imraan 3:99] and other similar aayaat (verses).


Much praise is due to Allaah. And the Prophet (sallAllaahu ’alayhi wa sallam) informed that there will always be a party from among his Ummah standing upon the truth who would be victorious and none who would abandon or oppose them would harm them until the Final Hour comes. So much praise is due to Allaah and we ask Him - the Glorified, and He is The Close and The Answerer of prayers, to make us and our Muslim brethren from among them (i.e. the victorious group) for indeed He is the Most Giving and Generous. This, and indeed the Permanent Council For Islaamic Research and Ruling has heard and seen the major preparations and extensive care taken by groups of Jews and Christians and those influenced by them from the claimants to Islaam for the occasion of the completion of the year 2000 and the entrance of the third millennium according to the reckoning of the European Calendar. There is nothing except to strive to advise and explain to the general population of Muslim the true meaning of this occasion and the ruling of the pure sharee’ah (Islaam) regarding it so that the Muslims will be aware and informed about their Religion and on guard against deviation toward the misguidance and errors of those whom Allaah is angry with and those who are astray.

We say:

Firstly:
The Jews and the Christians have attached to this millennium misfortunes, suffering and expectations that they are wrapped up in making sure of or plot because they are resultant of purported research and study. Just as they have tied certain issues of belief to this millennium according to their claims of what is reported in their distorted scriptures. It is obligatory for the Muslim to not even look to them or give them any weight. Indeed he should be satisfied with the Book of his Lord, the Glorified, and the Sunnah of His Prophet (sallallaahu ’alayhi wa sallam) above all else. Any other theories or speculations and opinions divergent to those two sources should neither be considered of any importance.

Secondly:
This occasion and its like is not at all free from the mixing of truth and falsehood nor the invitation to disbelief and misguidance nor licentiousness and apostasy and is a manifestation of evil according to Islaam. From among them: Calling for the unification of religions and the equalization of Islaam along with belief systems and religions that are false; showing deference to or pleasure in the cross (crucifix); manifesting the signs and symbols of the kufr (disbelief) of the Christians and Jews and any other similar actions or statements which comprise part of the now abrogated and substituted laws of Christianity and Judaism as being attributable to Allaah; or approval of some of what involves opposing the Religion of Islaam or any other matters that amount to disbelief in Allaah and His Messenger or Islaam according to the consensus of the Ummah. This is all in addition to the fact that is among the means of distancing the Muslims from their Religion.

Thirdly:
There is abundant evidence form the Book and the Sunnah as well as authentic traditions (of companions etc.) on the forbiddance of resembling or imitating the disbelievers in what is particular to them. Among that is resembling or imitating them in their holiday festivals and celebrations. Al-’Eed – is a generic noun that includes any recurring day that is repeatedly given significance or glorified by the disbelievers or the places in which they hold their religious gatherings. Everything that they innovate within these places and times is considered among their recurring festivities (a’yaadihim). Therefore the prohibition is not particularized to the festivities but includes every aspect of what they attach importance to at these times and places which have no basis in Islaam. It (the prohibition) applies to what they innovate in deeds and activities including what comes before or after of the days that are sacred as mentioned by Shaykhul-Islaam Ibn Taymiyyah (rahimahullaahu ta’aalaa). [1] As far as what has come forbidding what is particular similarity in festivities (al-a’yaad) is the statement of Allaah: ‘‘Those who do not witness falsehood (az-zoor).’’ [Sooratul-Furqaan 25:72] in describing the believing slaves of Allaah. This has been explained by a large number of the Salaf (predecessors) such as Ibn Seereen, Mujaahid and Rabee’ Ibn Anas that ‘az-zoor’ means the festivities (a’yaad) of the disbelievers. [2] It is confirmed and verified from Anas Ibn Maalik (radiyallaahu ’anhu) that he said: The Messenger of Allaah (sallallaahu ’alayhi wa sallam) came to al-Madeenah and they had two days that they had fun and played in so he asked, “What are these two days?” They replied, “We used to play in them in the times of Jaahiliyyah (pre-Islaam).” The Messenger of Allaah responded, “Verily Allaah has substituted then for you with what is better than them: the day of ’Adhaa (sacrifice) and the day of Fitr (fast-breaking).”
[3] It is authenticated that Thaabit Ibnud-Dhahhaak (radiyallaahu ’anhu) stated: ‘‘A man in the time of the Prophet (sallallaahu ’alayhi wa sallam) made an oath to sacrifice a camel in Bawaanah so he came to the Messenger of Allaah (sallallaahu ’alayhi wa sallam) and said, ‘I have made an oath to sacrifice a camel at Bawaanah.’ The Prophet (sallallaahu ’alayhi wa sallam) responded asking, ‘‘Were there any idols from the idols of Jaahiliyyah worshipped there?’ They replied, ‘‘No.’’ He asked: ‘‘Were there any festivities held there from among their festivities (a’yaadihim)?’’ They replied, ‘‘No.’’ The Messenger of Allaah (sallallaahu ’alayhi wa sallam) said, ‘‘Fulfill your oath for not do fulfill the oath is disobedience to Allaah and this does not fall in the possession of the children of Aadam (i.e. people have no part of this).’’[4] ’Umar Ibnul-Khattaab (radiyallaahu ’anhu) stated: ‘‘Do not go among the polytheists (mushrikeen) in their churches on their holidays (a’yaadihim) for the anger of Allaah descends upon them." He also said, ‘‘Stay away from the enemies of Allaah on their ’Eed.’’ [5] It is related that ’Abdullaah Ibn ’Amr Ibnul-’Aas (radiyAllaahu ’anhumaa) said: ‘‘Whoever builds in the lands of the foreigners and celebrates their Nayrooz and festivals and imitates them and he dies in that condition, will be raised among them on the Day of Resurrection.’’ [6]

Fourthly:
Festivities with the disbelievers is forbidden for many other considerations such as: Their (Muslims) imitating or resembling them in some of their holidays necessitates that they feel happiness in their hearts and delight within the breasts for the falsehood they are upon. The imitation and resemblance in outer matters necessitates imitation and resemblance in inner matters such as sharing corrupted beliefs albeit upon an Oriental face and subtle gradualness. Among the greatest corruption also is – and it has already happened – imitation of the disbelievers outwardly leads to internal love and admiration and allegiance.
Love and allegiance to them negates eemaan (faith) as Allaah stated:
‘‘O you who believe! Do not take the Jews and the Christians as your loyal friends and protectors (awliyaa‘)! They are friends and protectors of one another. Whoever takes them as friends and protectors from among you is one of them and Allaah does not guide the wrongdoers.’’ [Sooratul-Maa‘idah 5:51]
And Allaah said:

You will not find a people who believe in Allaah and the Last Day loving those who turn away from Allaah and His messenger.’’ [Sooratul-Mujaadilah 53:22]

Fifthly:
Based on the above it is not permissible for the Muslim who believes in Allaah as a Lord and in Islaam as a Religion and in Muhammad (sallallaahu ’alayhi wa sallam) as a Prophet and Messenger to hold parties for holidays that have no basis in the religion of Islaam. Among them is the so-called millennium. It is also not permissible to be present at them or to share in them nor congratulate for them in any shape or form because it constitutes and sin and going beyond the limits set by Allaah and Allaah says:
‘‘Do not cooperate in sin and enmity and fear Allaah. Verily Allaah is intense in punishment.’’ [Sooratul-Maa‘idah 5:2]
Sixthly:
It is not permissible for the Muslim to cooperate with the disbelievers in any manner in their holidays (a’yaadihim). For example: Advertising and announcing their holidays the likes of which are the mentioned millennium. Nor is inviting to it by any means allowed whether it is through the media or erecting billboards or posters or countdowns or clothing memorabilia or printing cards or notebooks or making discounts and prizes for it or sports activities or spreading any logo or sign especially for it.

Seventhly:
It is not permissible for the Muslim to consider the holidays or celebrations of the disbelievers, among them the millennium, and the like as happy occasions or blessed times and therefore make vacations or days off work or hold wedding ceremonies or inaugurate businesses or start projects and the like. It is not permissible to believe that these are special days any more than any day because they are indeed like any other day. To believe otherwise is a corruption that does not change the reality in the least. Indeed to hold such beliefs is a sin among those that we ask Allaah for protection and security from.

Eighthly:
It is not permissible for the Muslim to give congratulations for the holidays of the disbelievers because this is a type of acceptance of the falsehood that they are upon and it brings them joy. Ibnul-Qayyim (d.756H) - rahimahullaah - said that giving congratulations for the particular rites of kufr (disbelief) is haraam (impermissible) by consensus. Such would be congratulation them for their ’Eeds and fasting saying ‘A blessed holiday to you’ or ‘Congratulation on this holiday’ and so forth. It is haraam even if said by the one who is free from disbelief in himself. It is on the level congratulating him for his prostration to the cross. Indeed it is a greater sin with Allaah and a worse calumny than congratulating him for drinking alcohol (i.e. ‘cheers’) or killing someone, or having illicit sex and the like. There are so many who do not full appreciate their Religion who fall into this not knowing the ugliness of what they have fallen into for whoever congratulates the slave for his disobedience or his heresy (bid’ah) or disbelief has in effect exposed himself to the hatred of Allaah and His anger.

Ninthly:
It is a distinction and honour for the Muslims to adhere to the Hijree calendar, the calendar marking the migration of their Prophet (sallallaahu ’alayhi wa sallam) upon which the Companions (radiyallaahu ’anhum) agreed. They did so without any celebration and the Muslims after them inherited it and have followed it for fourteen centuries to this day. For this reason it is not permissible for the Muslim to turn away from the Hijree calendar and taking up other than it among the calendars of the nations of the world such as the Meelaadee (Gregorian) calendar. It is substituting that which is worse for that which is best. Thus we advise all of our Muslim brethren to fear Allaah as He should be feared and to act in obedience to Him and to distance themselves from sinfulness and disobedience as well as to admonish for that and to patience. Let every sincere believer strive to the utmost to protect himself from the anger of Allaah and His curse in this life and the Hereafter by actualization of knowledge and eemaan (faith) by taking Allaah as his Guide, Helper, Ruler and Protector. Indeed He is the best Protector and the best Helper. It is sufficient to have your Lord as a guide and helper and to make the supplication of the Prophet (sallallaahu ’alayhi wa sallam): ‘O Allaah! Lord of Jibreel and Meekaa‘eel and Israafeel, Fashioner of the heavens and the earth, the Knower of the Unseen and Seen, You are the judge between Your slaves about what they have differed in. Guide me to what has been differed upon to the truth by Your will. Verily You guide whom You will to the Straight Path. All praise is due to Allaah the Lord of all that exists.’ And may Prayers and Peace be upon our Prophet, Muhammad, and upon his family and his Companions.

THE PERMANENT COUNCIL FOR ACADEMIC RESEARCH AND RULINGS:
’Abdul-’Azeez Ibn ’Abdullaah Ibn Muhammad aalush-Shaykh, President
’Abdullaah ’Abdur-Rahmaan al-Ghudayyaan, Member
Bakr Ibn ’Abdullaah Aboo Zayd, Member
Saalih Ibn Fawzaan al-Fawzaan, Member

Footnotes:

[1] Refer to al-Iqtidaa‘us-Siraatil-Mustaqeem (1/432) of Ibn Taymiyyah.
[2] Refer to Tafseerul-Qur‘aanil-A’dtheem (3/328-329).
[3] Saheeh: Related by al-Bayhaqee in as-Sunanul-Kubraa (9/234) and in Kanzul-’Amal (no. 1732).
[4] Saheeh: Related by Aboo Daawood (no. 1134).
[5] Saheeh: Related by Ibn Abee Shaybah in his Musannaf (1/309). It was authenticated by Ibn Taymiyyah in al-Iqtidaa‘ (1/344).
[6] Da’eef: Related by al-Bayhaqee (9/234), it was declared weak by Ibn Taymiyyah in al-Iqtidaa‘us-Siraat.


(no: 21049) Dated: 12/8/1420

Last Updated ( Thursday, 14 June 2007 )
Halloween: Harmless or Haraam?

Thursday, 14 June 2007

An concise article detailing the origins of how Halloween started and outlining its pagan roots. The article continues to expound upon the proper Islaamic ruling concerning its celebration and a warning to the ignorant Muslims who fall into it.
Even if one decides to go along with the outward practises of Hallow'een without acknowledging the deeper significance or historical background of this custom, he or she is still guilty of indulging in this pagan festival.


Every year, on the evening of October 31st, millions of children across North America paint their faces, dress up in costumes, and go door to door collecting treats. The adults often decorate their houses with ghostly figures, carve scary faces on pumpkins, and put candles in them to create "Jack-O-Lanterns." Unfortunately, among the millions of North Americans indulging in this custom, many are also Muslims. This article will shed some light on the significance and origins of Hallow'een, and why Muslims should not participate in it.

Origins of the Hallow'een Festival
The ancient Celtic (Irish/Scottish/Welsh) festival called Samhain is considered by most historians and scholars to be the predecessor of what is now Hallow'een. Samhain was the New Year's day of the pagan Celts. It was also the Day of the Dead, a time when it was believed that the souls of those who had died during the year were allowed access into the "land of the dead". Many traditional beliefs and customs associated with Samhain continue to be practiced today on the 31st of October. Most notable of these customs are the practice of leaving offerings of food and drink (now candy) to masked and costumed revelers, and the lighting of bonfires. Elements of this festival were incorporated into the Christian festival of All Hallow's Eve, or Hallow-Even, the night preceding All Saint's (Hallows') Day. It is the glossing of the name Hallow- Even that has given us the name of Hallow'een. Until recent times in some parts of Europe, it was believed that on this night the dead walked amongst them, and that witches and warlocks flew in their midst. In preparation for this, bonfires were built to ward off these malevolent spirits.

By the 19th century, witches' pranks were replaced by children's tricks. The spirits of Samhain, once believed to be wild and powerful, were now recognized as being evil. Devout Christians began rejecting this festival. They had discovered that the so-called gods, goddesses, and other spiritual beings of the pagan religions, were diabolical deceptions. The spiritual forces that people experienced during this festival were indeed real, but they were manifestations of the devil who misled people toward the worship of false idols. Thus, they rejected the customs associated with Hallow'een, including all representations of ghosts, vampires, and human skeletons - symbols of the dead - and of the devil and other malevolent and evil creatures. It must also be noted that, to this day, many Satan-worshippers consider the evening of October 31st to be their most sacred. And many devout Christians today continue to distance themselves from this pagan festival.

The Islamic Perspective

Iman (faith) is the foundation of Islamic society, and tauheed (the belief in the existence and Oneness of Allaah) is the essence of this faith and the very core of Islam. The safeguarding of this iman, and of this pure tauheed, is the primary objective of all Islamic teachings and legislation. In order to keep the Muslim society purified of all traces of shirk (associating partners with Allaah) and remnants of error, a continuous war must be waged against all customs and practises which originate from societies' ignorance of divine guidance, and in the errors of idol worship.
Our beloved Prophet Muhammad (sallallaahu ’alayhi wa sallam) issued a stern warning:
"Whoever imitates a nation is one of them!" (Abu Da'oud). Muslims should heed this warning and refrain from copying or imitating the kufar in their celebrations. Islam has strongly forbidden Muslims to follow the religious or social customs of the non-Muslims, and especially of the idol-worshippers or those who worship the devil. The Prophet (sallallaahu ’alayhi wa sallam) said: "By Him in Whose hands is my life, you are ordered to enjoin good and forbid evil, or else Allaah will certainly afflict you with torments. Thereafter, even your du'a (supplications) will not be accepted." (Tirmidhi). From an Islamic standpoint, Hallow'een is one of the worst celebrations because of its origins and history. It is HARAM (forbidden), even if there may be some seemingly good or harmless elements in those practises, as evidenced by a statement from the Prophet (sallallaahu ’alayhi wa sallam) "Every innovation (in our religion) is misguidance, even if the people regard it as something good" [1]. Although it may be argued that the celebration of Hallow'een today has nothing to do with devil-worship, it is still forbidden for Muslims to participate in it. If Muslims begin to take part in such customs, it is a sure sign of weak iman and that we have either forgotten, or outrightly rejected the mission of our Prophet (sallallaahu ’alayhi wa sallam) who came to cleanse us from jahiliyyah customs, superstitions and false practises.

Muslims are enjoined to neither imitate the behaviour and customs of the non-Muslims, nor to commit their indecencies. Behaviour-imitation will affect the attitude of a Muslim and may create a feeling of sympathy towards the indecent modes of life. Islam seeks to cleanse the Muslim of all immoral conducts and habits, and thus paving the way for the Qur'an and Sunnah to be the correct and pure source for original Islamic thought and behaviour. A Muslim should be a model for others in faith and practice, behaviour and moral character, and not a blind imitator dependant on other nations and cultures.

Even if one decides to go along with the outward practises of Hallow'een without acknowledging the deeper significance or historical background of this custom, he or she is still guilty of indulging in this pagan festival. Undoubtedly, even after hearing the Truth, some Muslims will still participate in Hallow'een, send their kids "trick-or-treating," and they will try to justify it by saying they are doing it merely to make their children happy. But what is the duty of Muslim parents? Is it to follow the wishes of their children without question, or to mould them within the correct Islamic framework as outlined in the Qur'an and Sunnah? Is it not the responsibility of Muslim parents to impart correct Islamic training and instruction to their children? How can this duty be performed if, instead of instructing the children in Islam, parents allow and encourage their children to be taught the way of the unbelievers? Allaah exposes these types of people in the Qur'an: "We have sent them the Truth, but they indeed practise falsehood" (23:10). Muslim parents must teach their children to refrain from practising falsehood, and not to imitate the non-Muslims in their customs and festivals. If the children are taught to be proud of their Islamic heritage, they themselves will, insha Allaah, abstain from Hallow'een and other non-Muslim celebrations, such as birthdays, anniversaries, Christmas, Valentines Day, etc. The Prophet Muhammad (sallallaahu ’alayhi wa sallam) said: The Final Hour will not come until my followers copy the deeds of the previous nations and follow them very closely, span by span, and cubit by cubit (inch by inch). (Bukhari).

Islam is a pure religion with no need to accomodate any custom, practise or celebration that is not a part of it. Islam does not distinguish between "secular and sacred;" the shari'ah must rule every aspect of our lives.

"You must keep to my Sunnah and the sunnah of the rightly-guided Caliphs; cling to it firmly. Beware of newly invented matters, for every new matter is an innovation, and every innovation is misleading."[2]

"When the people see a person committing a wrong, but do not seize his hand to restrain him or her from the deed, it is likely that Allaah will punish them both." (Abu Da'oud, Nasa'i, Tirmidhi)

"Whoever imitates a nation is one of them." (Abu Da'oud)

What to do on Halloween

We have established, beyond doubt, that the celebration of Hallow'een is absolutely forbidden in Islam. It is HARAM. The question arises as to what to do on this night. Muslim parents must not send their kids out "trick-or-treating" on Hallow'een night. Our children must be told why we do not celebrate Hallow'een. Most children are very receptive when taught with sincerity, and especially when shown in practice the joy of their own Islamic celebrations and traditions. In this regard, teach them about the two Islamic festivals of Eid. (Eid-ul-Fitr is fast approaching, and this is the perfect time to start preparing them for it.) It must also be mentioned that, even Muslims who stay home and give out treats to those who come to their door are still participating in this festival. In order to avoid this, leave the front lights off and do not open the door. Educate your neighbours about our Islamic teachings. Inform them in advance that Muslims do not participate in Hallow'een, and explain the reasons why. (Give them a copy of this flyer if needed.) They will respect your wishes, and you will gain respect in the process. "A person who calls another to guidance will be rewarded, as will the one who accepts the message." (Tirmidhi)

Finally, we must remember that we are fully accountable to Allaah for all of our actions and deeds. If, after knowing the Truth, we do not cease our un-Islamic practises, we risk the wrath of Allaah as He himself warned us in the Qur'an: "Then let them beware who refuse the Messenger's order lest some trial befall them, or a grevious punishment be afflicted upon them!" (24:63). This is a serious matter and not to be taken lightly. And Allaah knows best. May Allaah guide us, help us to stay on the right path, and save us from all deviations and innovations that will lead us into the fires of Hell.

Footnotes:

[1] The Hadeeth was reported as Marfoo` by Al-Harawee but it was graded Da`eef by Shaykh Al-Albaanee in Ahkaam-ul-Janaa'iz.

What is confirmed is that it is a statement of `Abdullaah ibn `Umar ibn Al-Khattaab (radiyallaahu `anhumaa). This was reported by Al-Baihaqee in Al-Madkhal ilas-Sunan (#191), Ibn Nasr in As-Sunnah (#70), Ibn Battah in Al-Ibaanah (#205) and Al-Laalikaa'ee in Sharh Usool I`tiqaad Ahlis-Sunnah wal-Jamaa`ah (#126).

It was graded Saheeh by Shaykh Al-Albaanee in his checking of Islaah-ul-Masaajid (p.15), in As-Saheehah (2735) and Ahkaam-ul-Janaa’iz (124), by Shaykh `Alee Hasan Al-Halabee in `Ilm Usool-il-Bid` (p.92) and by Shaykh Mash-hoor Salmaan in his checking of As-Suyootee’s Al-Amr bil-Ittibaa` wan-Nahy `anil-Ibtidaa` (p.64). Shaykh Saleem Al-Hilaalee said in Al-Bid`ah wa Atharuha As-Sayyi’ fil-Ummah (p.42): “Its Isnaad is Saheeh like the sun!”

[2] This is reported by Ahmad (4/126), Abu Daawood (4607), Ibn Maajah (43,44), At-Tirmidhee (2676), Al-Haakim (1/95-96), Ibn Hibbaan (5) and others. However, it is not in Saheeh-ul-Bukhaaree.

Thursday, May 21, 2009

Harmful pesticides found in everyday food products

Mercer Island children tested in yearlong study


By ANDREW SCHNEIDER
P-I SENIOR CORRESPONDENT

Government promises to rid the nation's food supply of brain-damaging pesticides aren't doing the job, according to the results of a yearlong study that carefully monitored the diets of a group of local children
.
The peer-reviewed study found that the urine and saliva of children eating a variety of conventional foods from area groceries contained biological markers of organophosphates, the family of pesticides spawned by the creation of nerve gas agents in World War II.
When the same children ate organic fruits, vegetables and juices, signs of pesticides were not found.

"The transformation is extremely rapid," said Chensheng Lu, the principal author of the study published online in the current issue of Environmental Health Perspectives.
"Once you switch from conventional food to organic, the pesticides (malathion and chlorpyrifos) that we can measure in the urine disappears. The level returns immediately when you go back to the conventional diets," said Lu, a professor at Emory University's School of Public Health and a leading authority on pesticides and children.

Within eight to 36 hours of the children switching to organic food, the pesticides were no longer detected in the testing.
The subjects for his testing were 21 children, ages 3 to 11, from two elementary schools and a Montessori preschool on Mercer Island.
The community has double the median national income, but the wealth of Mercer Island made no difference in the outcome, he said.
"We are confident that if we did the same study in poor communities, we would get the same results," he said. The study is being repeated in Georgia.
The study has not yet linked the pesticide levels to specific foods, but other studies have shown peaches, apples, sweet bell peppers, nectarines, strawberries and cherries are among those that most frequently have detectable levels of pesticides.

Measuring the harm
Lu is quick to point out that there is no certainty that the pesticides measured in this group of children would cause any adverse health outcomes. However, he added that a recent animal study demonstrated that persistent cognitive impairment occurred in rats after chronic dietary exposure to chlorpyrifos.

Death or serious health problems have been documented in thousands of cases in which there were high-level exposures to malathion and chlorpyrifos. But a link between neurological impairments and repeated low-level exposure is far more difficult to determine.
"There's a large underpinning of animal research for organophosphate pesticides, and particularly for chlorpyrifos, that points to bad outcomes in terms of effects on brain development and behavior," Dr. Theodore Slotkin, a professor of pharmacology and cancer biology at Duke University in North Carolina, said in the April 2006 Environmental Health Perspectives.

Lu says more research must be done into the harm these pesticides may do to children, even at the low levels found on food.
"In animal and a few human studies, we know chlorpyrifos inhibits an enzyme that transmits a signal in the brain so the body can function properly. Unfortunately, that's all we know."
Not many chemicals, including pharmaceutical products, were designed specifically to kill mammals, which was genesis of organophosphates.
"It is appropriate to assume that if we -- human beings -- are exposed to (this class of) pesticides, even though it's a low-level exposure on a daily basis, there are going to be some health concerns down the road," said Lu, who is on the Environmental Protection Agency's pesticide advisory panel.

The EPA says it eliminated the use of organophosphates on many crops and imposed numerous restrictions on the remaining organophosphate pesticide uses.
Congressional concern that children were being harmed by excessive exposure to pesticides led to the unanimous passage of the Food Quality Protection Act. At its heart was a requirement that by 2006, the EPA complete a comprehensive reassessment of the 9,721 pesticides permitted for use and determine the safe level of pesticide residues permitted for all food products.

"As a result, the amount of these pesticides used on kids' foods (has undergone) a 57 percent reduction," said Jonathan Shradar, the EPA's spokesman.
But that's not nearly enough to prevent birth defects and neurological problems, said Chuck Benbrook, chief scientist of the Organic Center, a nationwide, nonprofit, food research organization.

"The pesticide limits that EPA permits are far, far too high to say they're safe. And, the reduction that EPA cites in the U.S. has been accompanied by a steady increase in pesticide-contaminated imported foods, which are capturing a growing share of the market," he said.
Yet the EPA continues to insist that "dietary exposures from eating food crops treated with chlorpyrifos are below the level of concern for the entire U.S. population, including infants and children."

That statement is "not supported by science," Benbrook said.
"Given the almost daily reminders that children are suffering from an array of behavioral, learning, neurological problems, doesn't it make sense to eliminate exposures to chemicals known to trigger such outcomes like chlorpyrifos?" he asked.

What to do

While the gut reaction of some parents might be to limit the consumption of fresh produce or switch completely to organic food, Lu cautions not to make the wrong decision.
"It is vital for children to consume significantly more fresh fruits and vegetables than is commonly the case today," he says, citing such problems as juvenile diabetes and obesity.
"Nor is our purpose to promote the consumption of organic food, although our data clearly demonstrate that food grown organically contains far less pesticide residues."
Lu says an all-organic diet is not necessary. He has two sons, 10 and 13, and he estimates that about 60 percent of his family's diet is organic.

"Consumers," he says, "should be encouraged to buy produce direct from the farmers they know. These need not be just organic farmers, but conventional growers who minimize their use of pesticides."

Understanding how fruits and vegetables grow can help guide the consumer, he says.
For example, organic strawberries probably are worth the money because they are a tender-fleshed fruit grown close to the dirt, so more pesticides are needed to fight insects and bugs from the soil. He adds apples and spinach to his list.

"It may also be money-smart to choose conventionally grown broccoli because it has a web of leaves surrounding the florets, resulting in lower levels of pesticide residue," Lu says.
He is greatly concerned about one finding from the study.
"Overall pesticide (marker) levels in urine samples were even higher in the winter months, suggesting children may have consumed fruits and vegetables that are imported. The government needs to ensure that imported food comply with the standards we impose on domestic produce," he said.

Dangerous science

Chlorpyrifos, made by Dow Chemical Co., is one of the most widely used organophosphate insecticides in the United States and, many believe, the world.
For years, millions of pounds of the chemical insecticide were used in schools, homes, day care centers and public housing, and studies show that children were often exposed to enormously high doses. Just as the EPA was ready to ban the product, which analysts said would have damaged Dow's overseas sales, the company "voluntarily" removed it from the home market. Yet, with few exceptions, the agricultural uses continued.
The EPA's Web site is a study in contradictions when it comes to chlorpyrifos.
At one section, it "acknowledged the special susceptibility and sensitivity of children to developmental and neurological effects from exposure to chlorpyrifos."
But in another section, the agency reports that infants and children face no risk from eating food crops treated with chlorpyrifos. However, the agency doesn't say how it reached that conclusion. There is no agreement of how much of the neurotoxin is too much.
Benbrook said the EPA has refused orders from Congress to study the cumulative developmental risk to children from low-dose exposures.

"Perhaps we can rest assured that EPA has protected us adults from acute insecticide poisoning risk, but our kids are on their own," Benbrook said.
ABOUT THE STUDY

Chensheng Lu's study was published this month in Environmental Health Perspectives (ehponline.org), a publication of the National Institute of Environmental Health Science. It was funded by the Environmental Protection Agency and used federal laboratories to confirm the accuracy of his findings.
Unlike many previous studies, Lu's team focused on children living in an urban/suburban area who were tested for multiple days in each of the four seasons with urine and saliva sampled twice a day.
The organic produce was sent to the Department of Agriculture lab in Yakima to be tested for pesticides. The Centers for Disease Control and Prevention tested the urine samples and the Food and Drug Administration laboratory is completing its quantification of pesticide residues in samples of the conventional food the children consumed.

The team included scientists from Emory University, the CDC and the University of Washington.
P-I senior correspondent Andrew Schneider can be reached at 206-448-8218 or andrewschneider@seattlepi.com.
Al-Qur’an Kalamullah, bukan Makhluk !!

Senin, 13-April-2009, Penulis: Buletin Jum’at Al-Atsariyyah

Jika manusia jauh dari tuntunan Al-Kitab dan Sunnah, maka ia akan terjerumus dalam kubang-kubang kesesatan yang gelap, walaupun ia menyangka dirinya mendapatkan petunjuk. Ambil sebagai contoh, Jahmiyyah (sekte sesat binaan Jahm bin Shofwan) telah terjatuh dalam kesesatan, saat mereka menyangka bahwa kalamullah (ucapan dan firman Allah) –diantaranya, Al-Qur’an- adalah makhluk diantara makhluk-makhluk ciptaan Allah. Padahal jika mereka mau kembali kepada Al-Qur’an, dan Sunnah menurut pemahaman salaf (yakni, para sahabat, tabi’in, dan ulama’-ulama’ yang mengikuti mereka), niscaya tak akan menyatakan bahwa Al-Qur’an adalah makhluk, bahkan Al-Qur’an adalah firman dan ucapan Allah. Sedangkan firman dan ucapan-Nya adalah sifat Allah, bukan makhluk !!

Banyak sekali dalil yang menguatkan bahwa Al-Qur’an adalah kalamullah (ucapan dan firman Allah), bukan makhluk. Dalil-dalil tersebut, ada baiknya kita bawakan agar menguatkan aqidah, dan iman kita.
Dalil dari Al-Qur’an Al-Karim
Allah -Ta’ala- telah mencela suatu kaum di dalam Al-Qur’an, karena mereka meyakini bahwa Al-Qur’an itu adalah ucapan manusia alias makhluk,
"Lalu dia berkata: "(Al Quran) Ini tidak lain hanyalah sihir yang dipelajari (dari orang-orang dahulu), ini tidak lain hanyalah perkataan manusia". Aku akan memasukkannya ke dalam (neraka) Saqar. Tahukah kamu apakah (neraka) Saqar itu?". (QS. Al-Muddatstsir: 24-27).

Ahli Tafsir Negeri Syam, Al-Hafizh Ibnu Katsir Ad-Dimasyqiy-rahimahullah- berkata menafsiri ayat ini, "Allah -Ta’ala- berfirman dalam memberikan ancaman kepada orang keji ini, yang telah Allah berikan nikmat kepadanya, yaitu nikamt-nikmat duniawi. Lalu ia mengingkari nikmat-nikmat Allah, dan menggantinya dengan kekafiran; membalasnya dengan pengingkaran terhadap ayat-ayat Allah, dan mengada-ada atasnya; ia menganggapnya termasuk ucapan manusia". [Lihat Tafsir Al-Qur’an Al-Azhim (4/568)]

Jadi, Al-Qur’an adalah firman Allah, bukan makhluk, dan bukan pula ucapan manusia. Segala sesuatu dari Al-Qur’an adalah firman Allah, baik yang tertulis dalam mushaf, diucapkan oleh manusia, direkam dalam kaset, dan lainnya; semua itu adalah firman Allah, bukan makhluk. Walaupun suara manusia, kertas dan tinta yang dipakai menulis, dan kaset yang dipakai merekam; semua itu adalah makhluk. Adapun yang disuarakan, ditulis, direkam, maka itu adalah firman Allah, bukan makhluk.
Allah -Ta’ala- berfirman,
"Allah Pencipta langit dan bumi, dan bila dia berkehendak (untuk menciptakan) sesuatu, Maka (cukuplah) dia hanya mengatakan kepadanya, "Jadilah!", lalu jadilah ia". (QS. Al-Baqoroh: 117).

Allah menjelaskan bahwa jika Dia menghendaki sesuatu, dan telah memutuskan (penciptaan)nya, maka Dia hanya berfirman, "Jadilah", lalu jadilah hal itu. Jadi, Allah menciptakannya dengan firman-Nya. Ayat ini membedakan antara firman-Nya yang merupakan sifat-Nya dan antara makhluk-Nya yang tercipta dengan perintah, dan ucapan-Nya. [Lihat Al-Ushul allati Banaa alaiha Ahlul Hadits Manhajahum fid Da’wah ilallah (hal. 214), cet. Dar Adh-Dhiya’]
Allah -Ta’ala- berfirman,
"Dan sesungguhnya jika kamu mendatangkan kepada orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al Kitab (Taurat dan Injil), semua ayat (keterangan), maka mereka tidak akan mengikuti kiblatmu, dan kamu pun tidak akan mengikuti kiblat mereka, dan sebahagian merekapun tidak akan mengikuti kiblat sebahagian yang lain. Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti keinginan mereka setelah datang ilmu kepadamu, Sesungguhnya kamu -kalau begitu- termasuk golongan orang-orang yang zhalim". (QS. Al-Baqoroh: 145).

Sesungguhnya Al-Qur’an yang merupakan kalamullah adalah ilmu Allah -Ta’ala-. Barangsiapa yang menyangka bahwa Al-Qur’an adalah makhluk, maka sungguh ia telah menyangka bahwa ilmu Allah adalah makhluk. Na’udzu billah min dzalik. [Lihat Al-Ushul allati Banaa alaiha Ahlul Hadits Manhajahum fid Da’wah ilallah (hal. 214), cet. Dar Adh-Dhiya’]
Dalil dari Sunnah Nabawiyyah
Abdullah bin Umar -radhiyallahu ‘anhu- berkata, "Aku pernah mendengar Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda,

أَوَّلُ مَا خَلَقَ اللهٌ تَعَالَى الْقَلَمُ, فَأَخَذَهُ بِيَمِيْنِهِ وَكِلْتَا يَدَيْهِ يَمِيْنٌ, قَالَ: فَكَتَبَ الدُّنْيَا وَمَا يَكُوْنُ فِيْهَا مِنْ عَمَلٍ مَعْمُوْلٍ: بِرٍ أَوْ فُجُوْرِ, رَطْبٍ أَوْ يَابِسٍ

"Makhluk yang paling pertama Allah -Ta’ala- ciptakan adalah al-qolam (pena). Kemudian Allah mengambilnya dengan tangan kanan-Nya. Sedang kedua tangan-Nya adalah kanan. Lalu Allah menetapkan adanya dunia, dan segala sesuatu yang terdapat di dalamnya berupa amalan baik yang dikerjakan, maupun amalan jelek; yang basah, maupun kering". [HR. Ibnu Abi Ashim dalam As-Sunnah (106), dan Al-Ajurriy dalam Asy-Syari’ah (hal. 180). Hadits ini di-hasan-kan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Zhilal Al-Jannah (1/42)

Hadits ini menunjukkan bahwa Al-Qolam (pena) adalah makhluk pertama yang Allah ciptakan, sedang kalamullah (ucapan Allah) telah ada sebelum Al-Qolam. Bahkan Al-Qolam tercipta dengan kalamullah. Maka ini menunjukkan bahwa kalamullah adalah sifat Allah, bukan makhluk ciptaan-Nya.

Al-Imam Ahmad-rahimahullah- berkata, "Syaikh ini (Yakni, Abbas An-Narsiy) telah menunjuki kita kepada sesuatu yang belum kita pahami, yaitu sabdanya, "Sesungguhnya sesuatu yang paling pertama Allah ciptakan adalah Al-Qolam", sedang Al-Kalam (firman Allah) ada sebelum Al-Qolam". [HR. Al-Ajurriy dalam Asy-Syari’ah (no. 178)]

Dalil berupa Ijma’ Para Salaf
Keyakinan seperti ini telah diyakini oleh seluruh orang-orang awam di zaman para sahabat, apalagi para ulama’ mereka, sebab perkara jelas dan gamblang seperti ini telah dikuatkan dan dijelaskan dalil-dalil dalam Al-Kitab dan As-Sunnah An-Nabawiyyah.

Al-Imam Abu Muhammad Ibnu Qutaibah Ad-Dainuriy-rahimahullah- (wft 276 H) berkata, "Andai mereka (yang berpendapat Al-Qur’an adalah makhluk) mau menajamkan pandangannya, dan diberikan sekeping taufiq, niscaya mereka akan mengetahui bahwa tidak mungkin Al-Qur’an itu adalah makhluk. Karena Al-Qur’an adalah kalamullah (firman Allah). Sedang kalamullah dari Allah. Tak ada sesuatu yang berasal dari diri Allah yang merupakan makhluk". [Lihat Ta’wil Mukhtalaf Al-Hadits (hal. 259)]

Inilah aqidah (keyakinan) yang bercokol di hati kaum muslimin dari zaman kenabian sampai hari ini; Ahlus Sunnah terus meyakini bahwa Al-Qur’an adalah kalamullah (ucapan Allah), bukan makhluk ciptaan Allah.
Abu Bakr bin Ayyasy-rahimahullah- berkata, "Barangsiapa yang menyangka bahwa Al-Qur’an adalah makhluk, maka ia menurut kami adalah kafir lagi zindiq, dan musuh Allah; kami tak akan menemaninya duduk, dan tak akan mengajaknya berbicara". [HR. Al-Ajurriy dalam Asy-Syari’ah (no. 163), Abu Dawud dalam Al-Masa’il (hal. 267), dan Al-Bukhoriy dalam Kholq Af’al Al-Ibad (hal. 119)]

Ulama’ tabi’in, Amr bin Dinar-rahimahullah- (wft 126 H) berkata menghikayatkan ijma’ para salaf dalam perkara ini,

سَمِعْتُ مَشِيْخَنَا مُنْذُ سَبْعِيْنَ يَقُوْلُوْنَ :الْقُرْآنُ كَلاَمُ اللهِ, لَيْسَ بِمَخْلُوْقٍ

"Aku telah mendengarkan para guru-guru kami berkata sejak 70 tahun, "Al-Qur’an adalah kalamullah, bukan makhluk". [HR. Al-Baihaqiy dalam Syu’abul Iman (1/190)]

Seorang ulama’ Syafi’iyyah, Al-Imam Abu Bakr Al-Baihaqiy-rahimahullah- berkata, "Guru-gurunya Amr bin Dinar adalah sekelompok sahabat, dianataranya Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Umar, Jabir bin Abdillah, Abdullah bin Az-Zubair, dan para pembesar tabi’in". [Lihat Syu’abul Iman (1/190), cet. Dar Al-Jiil]

Inilah aqidah para sahabat yang menetapkan bahwa Al-Qur’an adalah ucapan Allah, bukan makhluk. Keyakinan ini terus diyakini oleh generasi setelahnya. Sekarang kita dengarkan Al-Imam Ash-Shobuniy-rahimahullah- (wft 449 H) dalam Aqidah As-Salaf (hal. 40) berkata, "Ashabul Hadits (yakni, Ahlus Sunnah wal Jama’ah) mempersaksikan, dan meyakini bahwa Al-Qur’an adalah kalamullah (ucapan Allah), Kitab-Nya, wahyu-Nya, dan sesuatu yang Allah turunkan, bukan makhluk!! Barangsiapa yang meyakini bahwa Al-Qur’an adalah makhluk, maka ia kafir di sisi Ahlus Sunnah".

Keyakinan bahwa Al-Qur’an adalah kalamullah, bukan makhluk, bukan cuman diyakini oleh para tabi’in, bahkan para imam ahli fiqih pun yang datang setelahnya juga meyakininya.
Al-Imam Al-Barbahariy-rahimahullah- berkata dalam kitabnya Syarhus Sunnah (hal. 71), "Al-Qur’an adalah kalamullah (firman Allah), sesuatu yang turunkan, dan cahaya-Nya, bukan makhluk, karena Al-Qur’an dari diri Allah. Apa saja yang berasal dari diri Allah, maka bukan makhluk. Demikianlah yang dinyatakan oleh Malik bin Anas, Ahmad bin Hambal, para ahli fiqih, sebelum dan setelah keduanya; berdebat tentangnya adalah kekafiran".

Silakan dengar Imam Ahlis Sunnah, Ahmad bin Hambal Asy-Syaibaniy-rahimahullah- berkata,

وَالْقُرْآنُ كَلاَمُ اللهِ, وَلَيْسَ بِمَخْلُوْقٍ, وَلاَ تَضْعُفْ أَنْ تَقُوْلَ: لَيْسَ بِمَخْلُوْقٍ, فَإِنَّ كَلاَمَ اللهِ مِنْهُ, وَلَيْسَ مِنْهُ شَيْءٌ مَخْلُوْقٌ

"Al-Qur’an adalah kalamullah (firman Allah), bukan makhluk. Jangan kau canggung untuk berkata, "Dia bukan makhluk", karena firman Allah dari Allah. Sedang tak ada dari diri-Nya sesuatu berupa makhluk". [Lihat Syarh Ushul I’tiqod Ahlis Sunnah wal Jama’ah (1/157)]

Seorang ulama’ Malikiyyah, Al-Imam Ibnu Abi Zaid Al-Qoirowaniy-rahimahullah- berkata dalam Risalah-nya, "Allah telah berbicara dengan Musa dengan kalam-Nya (firman-Nya) yang merupakan sifat dzatiyyah-Nya, bukan makhluk diantara makhluk-makhluk-Nya". [Lihat Qothful Janaa Ad-Dani (hal. 45) karya Syaikh Abdul Muhsin Al-Abbad]

Inilah keyakinan dan aqidah yang harus dianut oleh setiap muslim, karena itu adalah kebenaran yang dilandasi oleh dalil-dalil dari Al-Qur’an dan Sunnah Nabawiyyah, bahkan ijma’ para As-Salafush Sholeh.

Al-Imam Abu Ja’far Ath-Thohawiy-rahimahullah- (wft 321 H) berkata saat menyebutkan aqidah Ahlus Sunnah, "Al-Qur’an adalah kalamullah (firman Allah). Dari-Nya Al-Qur’an muncul -tanpa kaifiyyah-, dalam bentuk ucapan; Allah menurunkannya kepada Rasul-Nya dalam bentuk wahyu. Al-Qur’an telah dibenarkan oleh orang-orang beriman dengan benar; mereka meyakini bahwa Al-Qur’an adalah kalamullah secara hakiki, bukan makhluk sebagaimana halnya ucapan manusia. Barangsiapa yang mendengarnya, dan menyangkanya sebagai ucapan manusia , maka ia kafir". [Lihat Al-Aqidah Ath-Thohawiyyah (hal. 41)]

Al-ImamIbnu Abil Izz Al-Hanafiy-rahimahullah- berkata, "Apa yang dihikayatkan oleh Ath-Thohawiy -rahimahullah-, itulah yang benar, telah ditunjukkan oleh dalil-dalil dari Al-Kitab dan Sunnah bagi yang mentadabburinya. Itu juga dikuatkan oleh fithrah selamat yang belum berubah dengan (pengaruh) syubhat, keraguan, dan pemikiran-pemikiran batil". [Lihat Syarh Al-Aqidah Ath-Thohawiyyah (hal. 168), cet. 1391 H]

Inilah beberapa nukilan dan pernyataan Ahlus Sunnah wal Jama’ah dari zaman ke zaman bahwa Al-Qur’an adalah kalamullah (ucapan, dan firman Allah), bukan makhluk. Barangsiapa yang menyangka –seperti halnya orang Jahmiyyah- bahwa Al-Qur’an adalah makhluk, maka ia kafir.
Al-Imam Asy-Syafi’iy-rahimahullah- berkata, "Al-Qur’an adalah ucapan Allah -Azza wa Jalla-, bukan makhluk. Barangsiapa yang berkata, "Al-Qur’an adalah makhluk", maka ia kafir". [HR. Al-Ajurriy dalam Asy-Syari’ah (1/224)]

Sumber : Buletin Jum’at Al-Atsariyyah edisi 78 Tahun II. Penerbit : Pustaka Ibnu Abbas.

Alamat : Pesantren Tanwirus Sunnah, Jl. Bonto Te’ne No. 58, Kel. Borong Loe, Kec. Bonto Marannu, Gowa-Sulsel. HP : 08124173512 (a/n Ust. Abu Fa’izah).

Pimpinan Redaksi/Penanggung Jawab : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Dewan Redaksi : Santri Ma’had Tanwirus Sunnah – Gowa. Editor/Pengasuh : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Layout : Abu Dzikro. Untuk berlangganan/pemesanan hubungi : Ilham Al-Atsary (085255974201). (infaq Rp. 200,-/exp)
http://almakassari.com/?p=319